Postkolonialisme: Penghampiran Budaya

By | 07/06/2010

Makalah tentang Postkolonialisme: Penghampiran Budaya.

PENDAHULUAN

   Sepanjang abad ke-19, diskursus kolonial Hindia Belanda berusaha menaturalisasi obsesi superioritas ras beserta peranakannya di atas struktur sosial masyarakat pribumi. Sejalan dengan itu, ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan telah ditahbiskan untuk menjadi perangkat ideologis rejim kolonial yang berfungsi untuk menamakan serta mengklasifikasikan penciptaan hirarki tipologi ras. Arsitek sistem tanam paksa menciptakan pembagian universal antara orang Jawa dan ras Belanda dalam rumusan: “bahasa, warna, agama, moral, dan catatan sejarah, semua berbeda antara Belanda dan Jawa. Kita (colonial) yang mengatur, dan mereka (pribumi) yang diatur”. Ekspresi diskriminasi politik ini menemukan bentuknya dalam kebijakan hukum, diskursus aktivitas misionaris, termasuk dalam topografi.

Kemunculan gerakan sosial di tengah arus kolonialisasi setidaknya memiliki dua arti penting, yaitu menandai titik balik kesadaran (the turning point of consciousness) masyarakat dalam strategi meruntuhkan tembok kolonialisasi yang mengunjam dunia pada saat itu, dan meletakan landasan kebudayaan (cultural) sebagai basis fundamental bagi perjuangan pergerakan kebangsaan.

Kebudayaan dalam konteks ini dipahami sebagai medium siasat dan strategi kalangan pribumi ketika dihadapkan dengan realitas pergulatan identitas, resistensi, akomodasi, dan negosiasi dengan modernitas kolonial. Preposisi ini mengukuhkan kebudayaan pada posisi penting sebagai salah satu kekuatan yang mendorong proses mobilitas politik dan solidaritas sosial organik dalam membangun jaring-jaring nasionalisme, merebut bola api kemerdekaan, serta menegakan cita-cita sosial bangsa. Dengan begitu, perjuangan kebangsaan melalui jalur kebudayaan ini memiliki lanscape pergerakan yang terbentang luas, mulai dari wilayah sosial, ekonomi, keagamaan sampai pendidikan.
A. Definisi
Mendefinisikan istilah postkolonialisme sama sukarnya mendefinisikan istilah postmodern.hal ini terkait dengan adanya prefik ‘post” yang mana pada ranah selanjutnya akan mengarah pada pertanyaan yang lebih mendasar , 1) basis epistemologis, apakah post kolonialisme adalah revolosi dari dekontruksi terhadap kolonialisme. 2) rentetan waktu, apakah post kolonialisme merupakan kelanjutan kolonialisme.
Akan tetapi kebanyakan pakar studi postkolnialisme lebih menekankan pada pengertian pertama, seperti di ungkapkan ania loomba;
lebih baik memikirkan postkolnialisme bukan sebagau sesuatu yan datang setelah kolonialisme dan menandakan kematian kolonialisme , tetapi secara lebih longgar dianggap sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme.
Hal senada juga dikatakan oleh Jorge de alva bahwa post kolonialisme harusnya bukan merupakan subyektivitas setelah pengalaman kolonial melainkan sebagai suatu subyektivtas dari perlawanan terhadap wacana-wacana dan praktik-praktik imprealisasi dan kolonilaisasi.

B. Post colonial sebagai”counter knowledges” bermula dari revolusi kesadaran
Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok-kelompok marjinal. Postkolonial kemudian membongkar (dekonstruksi) kembali wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan politik dan kekuasaan.

Postkolonial juga dapat dimaksudkan sebagi alat atau perangkat kritik yang melihat secara jernih bagaimana simbol-simbol kebudayaan digerakkan dalam struktur msyarakat untuk kepentingan kelas tertentu.simbol adalah suatu yang dipentaskan, dipanggungkan disebar luaskan dalam suatu gambaran, diberi dan ditangkap (ditafsir) maknanya berkaitan dengan suatu peristiwa atau kenyataan kehidupan sehari-hari. Pada giliran berikutnya hal itu kemudian dibagikan oleh dan kepada masyrakat, diwariskan anak cucu dan ditularkan kepada para antropojog dan pengamat budaya lainya.
Post kolnial mengemban tugas untuk merevikasikan kembali wacana oposisi biner. Meminjam istilah fisuf linguistic Ferdinand se saussure yang dicokolkan dalam struktur-struktur kesadaran dan pengetahuan. Oposisi biner adalah system yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B, sesuatu benar kalau ia tidak salah. Dalam opisisi biner mediasi tidak mendapatkan tempat. Walhasil ketika sistem ini masuk dalam kamar-kamar social , maka ia membentuk dualitas masyarakat yang saling menindas, elite lebih tinggi dari kawula karena itu elite leluasa menindas dan membodoh-bodohi kawula, barat lebih tinggi dari timur, agama A lebih benar dari agama B, disini lebih baik dari disana. Primordialisasi atau sekterenisasi kelompok itu, bila dibiarkan, lambat laun akan menjadi mitos, menjadi kebenaran dan kebajikan yang harus disembah dan dibela mati-matian. Padahal pembagian-pembagian itu bukanlah sesuatu yang alamiah melainkan tanda yang diproduksi dari interaksi budaya.

Postkolonial ingin membongkar persemayaman mitos-mitos itu, sebagaimana dipaparka pemikir kritis roland barthes yaitu mitos biasanya bekerja dengan cara membuat sesuatu yang sesungguhnya berdasar pada ideologi tertentu, kemudian lewat perjalanan sejarah hal itu dibuat tampak dan tampil seakan-akan sebagai sesuatu yang alamiah. Kodrati dan tak terelakkan harus terjadi dalam sebuah masyarakat dan kebudayaan tertentu. Ya mitos selalu mengajak kita untuk selalau berfantasi dan inilah yang terus menerus di produksi kolonialisme baru baik kolonialis local maupun interlokal. Postkolonial mengajak agar tak mudah menerima usaha pihak lain yang suka mengingatkan untuk melestarikan sesuatau dari masa silam. Sebab bagaimanapun nostalgia yang dikonsumsi secara berlebihan sangat membahayakan, selain akan menumpulkan kesadaran kritis, nostalgia akan melepaskan tanggung jawab diri dari tugas yang seharusnya diemban dalam kolase kehidupan ini.

Postkolonial ingin menggugat mereka yang berusaha menggenggam ontensitas budaya dengan cara yang tidak cerdas, krits, dan inovatif. Dan postkolonial melakukan itu semua bukan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tapi didialektikan dalam arena yang lebih subtil yakni kesadaran. Bagi kaum postkolonialis revolusi mestiunya dimulai dari gagasan, sebab sebuah revolusi hanya menghasilkan kediktatoran baru karena gagasan difetishkan dalam arena jagal revolusi (fisik).”perubahan bermakna memang bermula dari gagasan” kata Jalaludin rahmad

Seperti gagasan Edward Said dalam ide postkolonial misalnya melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma orientalismenya di tahun 1978. Katanya, Timur adalah sebentuk panggung tertentu yang didirikan dihadapan Barat. Said menguliti orientalisme sebagai wacana ilmiah yang didorong oleh motif-motif kekuasaan yang amat buas (kolonialisme). Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari ‘negeri yang terjajah’, maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang dijajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan dalam dikotomi tertentu. Seperti ide Michel Foucault bahwa kekuasaan ibarat sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana. Maka bukan lagi kekuasaan berbentuk vertikal: penguasa di atas dan yang tertindas di bawah, melainkan berlaku dari dan ke segala arah. Untuk menggambarkan ide postkolonial ini ada istilah black face, white mask, yaitu orang yang dijajah meniru perangai penjajah. Maka si black face, white mask adalah penjajah itu sendiri.

Di timur juga ada gagasan dari tokoh islam kiri yaitu Hassan hanafi yang mengusung amunusi epistemic bernama oksindentalisme. oksidentalisme kata hassan hanafi bertugas menghapus eurosentisme, menjelaskan bagaimana kesadaran eropa mengambil posisi tertinggi di lingkungan dunia ketiga, khususnya dalam bentangan atlas sejarah, mematahkan mitos kebudayaaan kosmopolit yang selama ini diklaim barat sebagai kebudayaan orisinilnya, lalu wajib diadopsi seluruh bangsa di dunia jika ingin modern.
C. Siasat postkolonial
Revolusi, betapapun dahsyatnya selalu bermula dalam langkah kecil. Demikian juga siasat postcolonial bermula dari revolusi kecil-kecilan menghalau badai laut global dengan berbagai benteng dan dinding alas diteluk-teluk pinggiran. Upaya itu dalam sosiologi politik disebut resistensi, suatu usaha bertahan menyerang, resistensi atau siasat itulah yang diistilahkan homi bhaba sebagai mimikri, suatu sikap ambivalen, disatu pihak pembangun identitas atau persamaan, tetapi di lain pihak juga mempertahankan perbedaan.
Mimikri itu bisa kita lihat, misalnya pada seni ketoprak. Ketoprak adalah seni pertunjukan masa rakyat kecil yang tidak mengandalkan romantisme (adhiluhung) yang memperhitungkan otoritas penafsiran. Ia lebih tepat disebut seni counter culture ketika massa rakyat mulai ragu terhadap budi bahasa dan perilaku penguasa. Panggung-panggung ketoprak merupakan siasat jeli unuk memenfaatkan media komunikasi masa modern berupa kostum, perangkat-perangkat musik pengiring, dan tata lampu untuk menghasilkan cemooh politik.

Siasat postkolonial banyak kita temukan dalam kebudayaan-kebudayaan, dongeng, peribahasa, mitos, sajak, lelucon. Dan dinyanyian rakyat. Ada contoh ilustratif dari kebudayaan amerika dan cerita rakyat tentang kancil yang mirip dengan daerah Malaya-indonesia, namanya “brer rabbit” cerita ini mencerirtakan kecerdikan si lemah yang dalam keadaan bahaya mampu hidup dengan berpura-pura takluk sambil menyiapkan jebakan bagi musuhnya.ada juga tokoh-tokoh budaya popular seperti dongeng “till eulenspiegl” di eropa dan semar di Indonesia yang mengolok-ngolok kepongahan dan perilaku kaum elite serta menyajikan perbedaan nyata terhadap nilai-nilai “resmi”. Ada juga robin hood atau jesse james yang tindakan mereka disegani dan disenangi rakyat karena mereka melawan hukum dan nilai-nilai masyarakat yang diproduksi elite.

Di jawa, radikalisme agraris terhadap kekuasaan colonial banyak memanfaatkan tradisi kecil. Kaum samin pedesaan pada awal abad ini misalnya, tak hanya menolak pajak tetapi juga menggunakan bahasa ngoko atau bahasas jawa rendah ketika menyapa para pejabat,

Siasat yang sama juga kita temukan pada warga desa disungai bujur Malaysia, mereka menggelar aksi-aksi bersifat perorangan ketimbang aksi-aksi kolektif apalagi berprinsip melawan elite-elite tuan tanah. Bila gerakan seperti itu meletus menjadi revolusi pasto sangat jarang terjadi. Umumnya senjata yang mereka pergunakan adalah senjata biasa yang dipakai kelompok-kelompok tanpa kekuatan, menghambat, berpura-pura tidak tau, menurut , mencopet, memfitnah, sabotase. Dan sebagainya. Menurut james C scoot, gerakan perlawanan sehari hari itu memiliki sifat epifenomenal yang terorganisir, bersifat untung-untungan, tidak mempunyai akibat revolusioner, maksud dan logikanya menyesuaikan dengan system dominasi yang ada, tapi usaha distabilitas itu berlangsung sangat panjang dan cukup memlelahkan bagi kaum elite.

Dari berbagai siasat itu kita bisa mengatakan antara penjajah dan terjajah, antara pusat dan pinggiran, antara kuasa dan resistesinya terjalin suatu relasi yang saling mengandaikan kucing-kucingan. Bukan relasi yang bisa dipahami dalam kerangka dialektika hegelian antara tuan dan budak, melainkan meminjam istilah bhaba, relasi antara tuan yang diperbudak dan budak yang yang tidak bisa di tahklukan sebab pada dasarnya kesadaran manusia tidak pernah bisa dikuasai walaupun tubuhnya di keramgkeng. Sama dengan cinta “engkau bisa menguasai dunia seluruhnya tapi tidak sanggup merebut cinta” kata hanoman.


PENUTUP


Kolonialisasi tak hanya ditandai atau identik melalui arus perpindahan modal (ekonomi), tetapi meluas sampai ke wilayah budaya. kolonialisasi budaya terjadi sebagai konsekwesi perkembangan baru masyarakat postmodern. Budaya global memang senantiasa terus mengalami pergeseran dan pengulangan. Budaya daur ulang yang terus-menerus direproduksi dan diterima tanpa banyak tanya, untuk apa semua ini. Yang kita tahu, kedatangan budaya global bisa jadi suatu keadaan yang jauh lebih baik, atau sebaliknya suatu posisi penyingkiran yang berarti eksploitatif dan imperialis. Bagaimanapun kedua posisi berlawanan ini adalah suatu kenyataan yang hidup berdampingan. Dan kita hidup didalamnya.

Kolonialisasi atau lebih cocok disebut ‘imperialisme’, pada tingkat analisis budaya postmodern sering dianalogikan dengan westernisasi. Hubungan erat antara budaya dengan barat jelas tergambar dalam peran dan otoritas barat sebagai produsen ‘budaya Massa’ terbesar di dunia. Dari televisi kabel, jaringan media global, internet, entertaiment, masakan fast food sampai film Hollywood menyerbu ke seantero pelosok dunia. Jika budaya massa kita anggap sebagai ancaman yang serius, maka jelas barat adalah ancaman bagi keutuhan budaya local. Tantangan terbesar dari diskursus postkolonial tidak lain—seperti yang dibahas di atas—wacana budaya global. Agresifitas pembentukan budaya massa seakan mengalahkan dan menunda semua bentuk budaya tanding (yang lokal), kecuali budaya tersebut layak dimasukkan ke dalam pasar budaya global.

Mungkin inilah metode yang sering dipahami dan dipakai oleh kalangan teorisasi budaya lokal untuk mempertahankan forma-forma kearifan tradisional yang berbentuk budaya lokal. Dengan menutup pintu bagi sifat kesewenang-wenangan tanda dan membentuk sifat fasis tanda. Langkah ini memang cukup taktis dengan implikasi serius dalam penerapannya, misalnya munculnya beberapa komunitas budaya tertutup yang menentang segala pengaruh dari luar tradisi mereka.
 

SUMBER RUJUKAN


http://fajar-files.blogspot.com/2007/02/muhammadiyah-dan-modernitaskolonial.html

http://interseksi.org/publications/essays/articles/postcolonial.html
Loomba ania, kolonialisme/ pascakolonialisme, terj.hartono hadikusumo, yogyakarta, bentang budaya, 2003.cet 1
M. dahlan, muhidin dkk,postcolonial sikap kita terhadap imprealisme, yogyakarta, jendela grafika, 2001. Cet 1
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.