Tulisan dan makalah tentang: Tantangan Indonesia sebagai bangsa dan negara ditengah-tengah dunia yang semakin terpecah membentuk blok-blok.*
MASALAH/TANTANGAN
Indonesia ke depan akan diperhadapkan pada tantangan yang semakin berat dan kompleks. Perkembangan strategis baik itu dalam skala global, regional dan nasional bergerak semakin dinamis. Sudah barang tentu kondisi ini punya potensi memicu ancaman yang beragam, dan dimensinya kian luas menyentuh seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kontestasi ideologi dan kebijakan politik major power diduga akan saling beririsan, akibatnya mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat dunia, terutama pasca-terpilihnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Dinamika geostrategis global bisa dipastikan dipengaruhi oleh keputusan Inggris setelah keluar dari Uni Eropa (Brexit), kemudian manuver Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Rusia untuk menjadi pemain penentu (key player) dalam tatanan hubungan global, perseteruan Arab Saudi – Iran, termasuk masih berlanjutnya krisis di sejumlah kawasan, seperti krisis Suriah, Yaman, konflik Israel – Palestina yang belum berkesudahan, Afghanistan, Ukraina, krisis di Semenanjung Korea dan Selat Taiwan.
Masalah lain yang rentan menimbulkan instabilitas keamanan global adalah berlanjutnya aksi teror Non State Actor, seperti Al Qaeda, Taliban, Al Shaabab, Boko Haram, ISIS, dan kelompok/individu yang terinspirasi atau telah berbai’at kepada ISIS, serta kekerasan bersenjata sektarian, ancaman cyber war di berbagai negara.
Pertumbuhan ekonomi global diprediksi masih melambat dan diliputi ketidakpastian, ini juga berefek pada sejumlah negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Arus modal dan tekanan Dollar AS masih terhambat. Produksi pangan dunia masih dihantui cuaca ekstrim, El Nino dan La Nina yang berakibat turunnya produksi, ditambah harga minyak mentah dunia yang fluktuatif.
Di bidang sosial budaya, gelombang pengungsian dari negara-negara konflik, terutama ke wilayah Eropa Barat, kekerasan sektarian, dan Islamphobia, diperkirakan menjadi masalah sosial yang rumit untuk di selesaikan. Pada tataran regional, kita juga menghadapi dinamika situasi di Asia Tenggara. Misalnya, konflik Laut China Selatan, sengketa perbatasan, permasalahan Rohingya, pengungsi/migran, serta beberapa aksi teror dan penculikan, perompakan di beberapa negara seperti di Fhilipina, Thailand, dan Indonesia.
Di bidang ekonomi, persediaan beras Thailand, India, Vietnam mengalami penurunan, sehingga mendorong kenaikan harga beras, terbatasnya cadangan energi di kawasan ASEAN. Selain menghambat pertumbuhan dan melemahkan ketahanan energi kawasan, bisa merapuhkan soliditas negara-negara ASEAN akibat terjadinya persaingan untuk mendapatkan sumber energi.
Dalam skala nasional tak kalah serius. Dimana adanya ancaman kian menguatnya pengaruh ideologi kanan, agitasi, propaganda kelompok kiri, pengaruh ideologi liberal dengan memanfaatkan era globalisasi. Inilah yang mungkin disebut dengan the end of history, sebuah skenario dengan target membumihanguskan kebudayaan-kebudayaan lokal, termasuk memakai pola-pola ekonomi pasar bebas. The clash of civilitations yang mengubah ideologi mengatasnamakan kebebasan demokrasi. Yang paling ekstrim adalah the coming anarcy dengan menciptakan banyak instrumen kegaduhan dengan cara konflik bernuansa SARA (Suku, Ras dan Agama).
Revitalisasi pengamalan dan penanaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara belum optimal. Perhelatan Pilkada serentak 2018 berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Untuk masalah ekonomi di Indonesia masih terancam dengan penurunan investasi dan perdagangan yang diakibatkan oleh perubahan kebijakan di Amerika Serikat. Kondisi fiskal masih masalah, lantaran ruang fiskal yang sempit sehingga program pembangunan kurang berjalan maksimal.
Produksi pada sektor pangan masih terhambat oleh beberapa penyebab, seperti alih fungsi lahan, infrastruktur dan kondisi cuaca. Fluktuasi harga minyak mentah dunia ikut mempengaruhi perekonomian nasional, terbatasnya sarana infrastruktur energi, terhambatnya program listrik 35.000 megawatt. Di bidang sosial budaya, masalah yang mencuat adalah intoleransi, masih minimnya sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan, banyaknya kasus sengketa lahan, masalah perburuhan, pencemaran lingkungan, penyalahgunaan narkoba dan penegakkan hukum. Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian yang sangat serius.
Di bidang pertahanan dan keamanan, konsolidasi jaringan terorisme terus berlanjut merekrut dan menjalankan kaderisasi, terutama oleh kelompok-kelompok pendukung ISIS. Modus dan sasarannya sekarang telah berkembang tertuju kepada arapat keamanan yang dinilai sebagai penghalang perjuangan dengan aksi individu (Lone Wolf). Hal krusial lainnya adalah manuver kelompok separatis dengan menggunakan jalur politik dan kekerasan bersenjata. Konflik komunal dengan ragam latar belakang, serta masalah perbatasan dengan negara tetangga, kejahatan lintas negara. Kesemuanya itu menjadi sumber gangguan keamanan nasional.
Dinamika ancaman-ancaman saat ini telah mengalami perubahan paradigma. Dimana sebelumnya bersifat tradisional, simetris dan militer, menjadi bersifat multi-dimensi asimetris, dengan menggunakan teknologi modern dan kekuatan non militer. Hal ini mengakibatkan proxy war, cyber war, dan media war sehingga ancaman kepentingan dan keamanan nasional semakin meningkat.
INDONESIA DARURAT INTOLERANSI
Indonesia saat ini tengah menghadapi darurat intoleransi. Dinamika ancaman seperti radikalisme, terorisme, kejahatan cyber, hoax dan hatespeech, intoleransi, proxy war dan cyber war, secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap situasi dan kondisi nasional.
Belum optimalnya implementasi pengamalan nilai-nilai Pancasila telah menjadi celah masuknya ideologi lain yang ingin menggantikan posisi Pancasila dan UUD 1945. Fenomenda radikalisme menjadi isu yang sangat memprihatinkan. Ideologi selain Pancasila dan radikalisme menjadi magnet khususnya di kalangan generasi muda. Pancasila yang merupakan ideologi dan dasar negara harus tetap menjadi pandangan hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial politik dengan cara drastis dan kekerasan. Dalam perjalanannya, radikalisme kemudian diartikan sebagai paham yang menginginkan perubahan besar. Sesuai dengan asal katanya, “radikal” yang berarti amat keras menuntut perubahan. Radikalisme merupakan respon atas kondisi yang sedang berlangsung. Bisa dalam bentuk evaluasi, penolakan bahkan perlawanan. Masalah yang ditolak dapat berupa ide, pendapat, asumsi atau nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap keberlangsungan sebuah keadaan.
Saat ini, ada sekelompok orang yang memaksakan kehendaknya dengan mengatasnamakan agama untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi. Kelompok tersebut ingin menggantinya dengan ideologi lain, seperti sistem khilafah dan penerapan syariat Islam. Dalam merealisasikan tujuannya, kelompok ini cenderung menggunakan kekerasan dengan dalih jihad membela agama. Kasus bom bunuh diri di Kampung Melayu, merupakan salah satu wujud dari radikalisme dan pemahaman ajaran agama yang begitu sempit yang diimplementasikan dengan aksi teror.
Radikalisme agama, biasanya menggunakan isu pemurnian akidah. Pihak-pihak yang tidak sejalan dinilai sesat yang sering dikembangkan dalam upaya menolak cara pandang yang berbeda dengan cara pandang radikalis. Radikalisme agama kerap membangun dikotomi antara sistem thaghut dengan sistem Islam.
Radikalisme tidak akan berhenti sampai pada upaya penolakan semata, dia akan terus berusaha mengganti tatanan. Di dalam radikalisme, terkandung suatu program atau pandangan tersendiri atas sebuah tatanan. Dalam konteks radikalisme agama, kelompok-kelompok tersebut memaksakan pemahamannya dan memiliki agenda yang jelas untuk mengganti aturan-aturan yang menurutnya tidak sesuai dengan pemahaman mereka, dengan cara apapun, bahkan kekerasan sekalipun.
Aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh jaringan teror global. Dengan kemajuan teknologi informasi, kelompok ini melakukan propaganda melalui media sosial. Meskipun majunya teknologi informasi memiliki manfaat positif, tetapi juga mempunyai dampak negatif. Inilah yang rawan dan sangat berbahaya bagi kondisi sosial masyarakat. Tindakan agitasi, provokasi, hoax, hatespeech bisa menyebabkan intoleransi. Fitnah dan saling menghujat merupakan fenomena yang sering terlihat terutama di media-media sosial. Hal itu, mengancam integrasi dan Ke-Bhinekaan.
PERAN ULAMA DAN ISLAM DALAM MENJAGA INTEGRASI NASIONAL
Peran para ulama dan Islam sebagai bagian mewujudkan integrasi nasional tidak bisa dibantah lagi. Para ulama dan Islam sejak dulu konsisten mengajarkan nasionalisme kepada jamaahnya. Nasionalisme yang dikumandangkan para ulama, melahirkan aspirasi perjuangan kemerdekaan. Sikap yang dikembangkan oleh ajaran Islam ini membuat Islam diterima oleh bangsa Indonesia. Islam menjadi simbol anti pejajahan sekaligus sebagai identitas pribumi. Para ulama Islam memiliki kemampuan melahirkan sikap politik dengan bahasa yang bisa diterima oleh seluruh golongan.
Ulama dan kelompok Islam, dalam kancah politik nasional bisa dilihat dengan lahirnya partai-partai politik berasaskan Islam atau partai yang memiliki basis pendukung massa Islam itu sendiri. Mereka sejak awal terlibat dalam pemilihan umum. Peran-peran mereka punya andil besar ketika mendorong gerakan reformasi 1998. Tidak sampai disitu saja, para ulama konsisten dalam gerakan-gerakan sosial dan pendidikan. Hal tersebut ditandai dengan berdirinya pondok pesantren, perguruan tinggi, sekolah, panti asuhan, rumah sakit, bank-bank syariah dan berbagai organisasi kemasyarakatan.
Dari fakta-fakta yang terekam dalam perjalanan sejarah Indonesia, ulama dan Islam merupakan elemen penting yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan bangsa Indonesia. Bahkan, bisa dikatakan, bangsa ini telah berhutang kepada para ulama, terutama kaitannya mempertahankan eksistensi NKRI dengan tetap menghargai Ke-Bhinekaan serta melarang permusuhan.
Pemerintah sendiri telah membangun sinergi dengan kelompok Islam. Dengan bentuk implementasi program pemerintah dengan melibatkan peran dan jaringan kelompok-kelompok Islam untuk penyaluran BPJS, KIS, KIP melalui pondok-pondok pesantren. Kemudian pembinaan karakter bangsa dan nilai-nilai Pancasila melalui ceramah/dakwah ulama, pemberdayaan ekonomi rakyat mengikutsertakan ormas-ormas Islam, dan pengembangan ekonomi syariah.
Sedangkan penanganan masalah dan konflik sosial di masyarakat, pemerintah telah melakukan langkah-langkah antisipasi dan upaya cegah dini melalui pendekatan secara keagaamaan dan pelibatan tokoh-tokoh agama untuk pembinaan generasi muda guna membentuk akhlak dan penanaman nilai-nilai Pancasila.
Para alim ulama diharapkan menjadi pemantik bagi generasi selanjutnya untuk memantapkan tekad bahwa Pancasila dan NKRI harus dijaga. Pancasila harus diamalkan, dijiwai setiap sila-silanya yang merupakan perekat keutuhan bangsa dan negara. Dengan demikian, Islam dan ulama adalah kekuatan sekaligus kebanggaan umat dan negara untuk terus dapat menjaga keutuhan bangsa, sekaligus menjadi contoh bagi kehidupan dan peradaban dunia yang damai.
Oleh karena itu, sangat penting rasanya untuk mengembalikan peran ulama.
Komunikasi yang harmonis antara ulama, umat dan pemerintah harus terus dibangun sehingga tidak ada jarak. Demikian halnya mendorong peran aktif para ulama dan tokoh Islam Indonesia dalam kancah internasional, untuk menunjukkan wajah Islam yang toleran, menjaga perdamaian dunia dan tak kalah pentingnya adalah menjaga marwah dan nama baik bangsa Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Untuk menjaga ke-Bhinekaan dan keragaman dalam bingkai keutuhan NKRI, maka diperlukan langkah-langkah membangun dan memperkokoh persatuan kesatuan bangsa, memperkuat nilai-nilai Pancasila dan karakter bangsa dan negara untuk menangkal potensi gangguan asing yang bisa memecah belah NKRI, merawat kohesifitas sosial masyarakat dan menjadi garda terdepan untuk antisipasi dan cegah potensi konflik sosial.
* Judul asli: TANTANGAN INDONESIA YANG BERDAULAT DAN MAJU DI TENGAH-TENGAH DUNIA YANG MULTIPOLAR
Disusun oleh: Jenderal Polisi Budi Gunawan, Ph. D, Kepala BIN RI.