Tulisan tentang Ar Risalah sebagai Pondasi Istinbath Hukum Islam Sepanjang Zaman
Sekapur Sirih
Ar Risalah merupakan sebuah kitab pertama dalam fan ushul fiqh. Sang muallif mempunyai keinginan dalam penyusunan kitab ini, yaitu merumuskan aturan-aturan bagi seorang faqiih atau mujtahid dalam usaha menjelaskan hukum-hukum syari’at dalam setiap masa.
Kitab ini -oleh beliau- dihidangkan dalam bentuk diskusi ilmiah (al hiwar wal jadal), yang kesan dan lintasan-lintasannya senantiasa mudah menancap dalam benak pembacanya. Karena kitab tersebut menghadirkan pendapat dan pandangan-pandangan disertai pertentangannya berikut dalil-dalilnya.
Dalam kitab ini tersaji masalah-masalah fiqh, hadis serta penafsiran nash al quran dan ushul fiqh. Diantara materi ushul fiqh yang tersaji adalah al ‘Aam wal Khosh, an Nasikh wal mansukh,an nahyu, al Ijma’ al qiyas, al ijtihad, al Istihsan. Hal ini sengaja dihadirkan oleh sang mu’allif karena adanya kaitan antara masalah-masalah fiqhiyah dengan nash al quran, sunah, serta kaidah-kaidah fiqh yang beliau rumuskan. Karena beliau merupakan ulama’ yang tersohor sebagai muhaddis, mufassir, faqiih, serta seorang ahli kedokteran serta menguasai banyak disiplin keilmuan sebagaimana tradisi akademik pada saat itu. Dan hal ini akan tersirat dalam benak setiap orang yang membaca karya beliau ini. Demikian sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Abdul latif al Hamim dan Dr. Mahir Yasin al Fahl dalam catatan penjelas (tahqiq) tentang karya beliau ini.
Sekilas tentang al Imam Asy Syafi’i
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin ‘Usman bin Syafi’ bin Saib bin ‘Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Mutholib bin ‘Abdi Manaf bin Qushoyy bin Kilab bin bin Marraoh bin Ka’ab bin Lu’ayy bin Gholib bin Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhorr bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan al Mutholibiy al Qurosyiy al Hijaziy al Makkiy asy Syafi’i.
Sebagian ulama’ menulis bahwa beliau lahir di kota ‘Asqalan. Sebagian lagi berpendapat di kota Yaman. Akan tetapi yang paling terkenal beliau lahir di Gazza, yang merupakan daerah bagian dari wilayah Palestina. Pada tahun 150 H/767 M, dimana Abu Hanifah wafat di tahun yang sama. Lahir empat bersaudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Kakak beliau adalah Abu ‘Usman Muhammad, seorang qodli di kota Halb wilayah Syam, serta dua saudara perempuannya, Fatimah dan Zainab. Demikian sebagaimana yang disampaikan oleh ‘Umar Ridlo Kahhalah dalam Mu’jamul Muallifiin-nya.
Setelah ayahanda beliau wafat, keluarganya pindah ke kota Mekah setelah sebelumnya mengadu nasib dikota ‘Asqalan. Setelah sekian lama mengenyam pendidikan di salah satu kuttab di Mekah dan melahap seluruh ilmu ulama’-‘ulama’ Mekah dalam bidang hafalan al quran, tilawah serta tafsirnya, hadis dan lughoh dan tak ketinggalan pula kemahiran berkuda dan memanah (sebagaimana kultur arab waktu itu), beliau memulai perjalanan akademisnya dari kota Madinah (di kota inilah beliau berguru pada guru besar Madinah al Imam Malik) selama kurang lebih 9 tahun. Kemudian dilanjutkan di kota Yaman dan Baghdad (di kota ini beliau berkunjung 2 kali). Setelah itu, beliau kembali ke Mekah, terus kembali ke Baghdad, Syam dan terakhir di kota Mesir sampai akhir hayat beliau pada tahun 204 H/819 M pada malam Jumat akhir bulan Rojab.
Seputar ushul fiqh ar Risalah
Sebagaimana yang telah kami tulis dalam pembukaan bahasan ini, bahwa ar Risalah memuat sajian bidang fiqh, ushul fiqh, nash al quran dan seputar hadis, maka disini nanti kami akan mencoba mengambil sedikit goresan dari nuansa ushul fiqh yang tersurat dalam kitab tersebut dan yang (juga) tersirat dalam benak kami.
Pertama, tentang al’ Aam dan al Khosh. Al Imam memulai penjelasannya dengan beberapa nash yang memuat tentang keduanya. Baik nash yang secara dhahir ‘aam maupun dhahirnya ‘aam tetapi dimaksudkan khosh. Selanjutnya beberapa contoh tentang takshisus al qur’an bis sunnah.
Dibawah ini sebagian dari contoh-contoh seputar al ‘aam wal khosh :
1. nash yang ‘aam dan tidak ada al khosh di dalamnya
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (الزمر :62
2. nash yang didalamnya terdapat al ‘aam dan al khosh
مَا كَانَ لأَِهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ اْلأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلاَ يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَ يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلاَ نَصَبٌ وَلاَ مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَ يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (التوبة : 120)
3. nash yang dhohirnya ‘aam, tetapi mengumpulkan makna ‘aam dan khosh
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات : 13
4. nash yang dhohirnya ‘aam, akan tetapi yang dimaksud adalah khosh
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة : 199
5. takhshisul kitab bissunnah
ayat 13, surat al hujurat diatas ditakhsish dengan hadis riwayat ‘Aisyah R. A :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. م : رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : النَّائِمُ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ, وَالصَّبِيُّ حَتىَّ يَبْلُغَ, وَاْلمَجْنُوْنُ حَتىَّ يُفِيْقَ (رواه أحمد وابن ماجه
6. takhshisul kitab ‘aamman bissunnah khoshshon dan di maksud dengannya khosh
contohnya ayat 11 dan 12 surat an Nisa’ tentang faraidh :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَِبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُِمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا.
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (النسا ء :11-12
yang ditakhsish dengan hadis riwayat ‘Amr bin syu’aib :
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. م : لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ اْلِميْرَاثِ شَيْئٌ
Kedua, seputar an Nasikh wal mansukh. Dalam awal pembahasan an nasikh wal mansukh ini, beliau menjelaskan tentang ketentuan Allah bahwa adanya sebagian ayat al quran yang dinaskh dengan ayat yang lain dan tidak adanya kemampuan sunah untuk menasakh al qur’an. Dalil tentang hal ini dapat kita lihat dalam surat Yunus : 15 :
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لاَ يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآَنٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
,
ar Ra’d : 39 :
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
,
al Baqarah : 106 :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
,
an Nahl : 101 :
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
.
Baru kemudian al Imam menyajikan contoh-contoh nasikh wal mansukh ini. Diantara sebagian contoh naskh mansukh adalah surat al Muzzammil ayat 1-4 :
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلاً
yang ternaskh dengan ayat berikutnya ayat 20 :
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآَخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لأَِنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
dan ayat 180 surat al Baqarah tentang wasiat :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
yang dinaskh dengan hadis nabi riwayat Sufyan dari Sulaiman al Ahwal dari Mujahid tentang tiadanya wasiat bagi ahli waris. akan tetapi bisa jadi suatu nash ternaskh oleh nash yang lain, dan menaskh nash yang lain. Dalam hal ini kita diharuskan untuk mencari dalil lain yang menunjukkan atas salah satu dari dua kemungkinan tersebut.
Ketiga, an Nahyu. Dalam bahasan ini, al Imam menjelaskan tentang larangan tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil lainnya.selanjutnya, tentang larangan sesuatu dengan makna yang lebih jelas dari dalil yang sebelumnya. Kemudian diikuti dengan keterangan tentang larangan sesuatu yang serupa dengan dalil lainnya dalam satu sisi, dan berbeda di sisi yang lain. Dan yang terakhir tentang sifat bentuk larangan Allah dan larangan RasulNya.
Keempat, al Ijma’. Al Imam menjelaskan bahwa al Ijma’ merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam ketika Ijma’ tersebut tetap mengacu pada hukum-hukum Allah dan RasulNya. Kumpulan orang-orang islam tidak akan bersepakat tentang sesuatu hukum yang bertentangan dengan Allah dan Rasul, apalagi terhadap sesuatu yang salah. Al Imam juga menuturkan sebuah hadis riwayat ‘Umar bin khattab tentang kewajiban mengikuti pendapat golongan yang banyak (jama’ah). Karena sesungguhnya syaitan cenderung enggan dan menjauhi golongan (orang banyak). Beliau juga menegaskan , bahwa orang yang menghindari kelompok dalam memutuskan suatu putusan lebih akan lebih dekat pada salah dan lalai. Berbeda dengan jama’ah, karena tidak dimungkinkan kesalahan atas pemahaman makna al qur’an, sunah dan qiyas dalam suatu jama’ah.
Kelima, al Qiyas. Al Imam ditanya tentang alasan menjadikan al qiyas sebagai sumber pengambilan hukum ketika tidak ditemukan dalil dalam al qur’an, sunah dan ijma’. Beliau menjawab bahwa, apabila qiyas itu berupa nash al qur’an maupun sunnah, maka yang demikian itu bukanlah dinamakan qiyas. Melainkan tetap dinamakan hukum al qur’an dan hukum sunah. Dijelaskan juga, bahwa pada dasarnya qiyas itu terbagi atas dua tinjauan, apabila maqisnya merupakan semakna dengan maqis ‘alaih, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan. Sedangkan yang kedua, ketika maqisnya mempunyai beberapa aspek yang serupa dengan maqis ‘alaih, maka dalam hal ini terjadi perbedaan. Dan perbedaan inilah yang menyebabkan terbaginya qiyas dalam beberapa macam yang kita temukan sekarang ini.
Keenam, al Ijtihad. Beliau menyebutkan landasan pembolehan ijtihad sebagai dasar hukum dalam surat al Baqarah : 150 :
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلأُِتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Argumentasi logis juga beliau tampilkan untuk menguatkan posisi ijtihad sebagai dasar pengambilan hukum. Karena setiap manusia tidak akan pernah mencapai kesempurnaan dalam penguasaaan ilmu, maka apa-apa yang yang sudah kita yakini dan ketahui berdasar petunjuk yang ada, itulah yang kita pegang dan laksanakan. Juga diperkuat dengan hadis riwayat ‘Abdul ‘Aziz yang populer bahwa ketika seorang hakim memutuskan kemudian dia berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Dan satu pahala ketika dia salah. Ijtihad disini dimaksudkan dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang dhohir dan konkrit, bukan ghaib dan abstrak. Beliau menyebutkan, bahwa Allah menganugerahi hambaNya dengan akal yang dapat digunakan untuk menunjukan pada jalan yang benar dalam suatu hal yang sulit diputuskan dengan menggunakan petunjuk yang (juga) telah diciptakan oleh Allah. Sehingga dia akan benar dengan keputusannya sampai dia menemukan sesuatu yang lebih benar. Bisa dicontohkan dalam hal ini, perintah menghadap qiblat dengan total ketika di melihatnya. Dan menghadap qiblat dengan perkiraan saja ketika qiblat tidak terlihat secara langsung. Untuk membantu dalam perkiraan ini, Allah juga menciptakan langit, bumi, matahari, bulan, bintang, laut, gunung dan angin sesuai dengan firmanNya dalam surat al An’am : 97 :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا اْلآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
dan An Nahl : 16 :
وَعَلاَمَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
Dan juga Sebagaimana ijtihadnya para sahabat tentang ayat 95 surat al Maidah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
dengan menjelaskan bahwa membunuh dlob’ (sejenis anjing hutan) diganti dengan kabsy (domba jantan), ghazal (rusa) dengan ‘anz (kambing betina), arnab (kelinci) dengan ‘anaq (anak kambing betina), dan yarbu’ (hewan sejenis tikus) dengan jafrah (anak kambing yang berumur 4 bulan).
Ketujuh, al Istihsan. Sebenarnya dalam kitab ar Risalah ini, al istihsan tidaklah menempati satu bahasan sendiri. Akan tetapi judul ini terdapat dalam catatan kitab salinan ibn Jama’ah. Al Imam sendiri kurang sepakat dengan ucapan “al istihsan” karena beliau menganggap al istihsan merupakan bentuk taladzudz. Beliau juga beralasan bahwa istihsan sendiri tidak muncul dari buah pikir madzhab dengan landasan syara’. Sedangkan tuntutan hujah syar’iyyah sendiri adalah agama, baik itu dianggap baik oleh jiwa individu atau tidak. Sampai beliau menegaskan “ barang siapa beristihsan, maka sungguh dia telah membuat syari’at” (man istahsana faqad syara’a), yang oleh al Imam ar Ruyani dijelaskan, bahwa maknanya adalah orang tersebut menegakkan suatu syara’/aturan dari dalam dirinya sendiri tanpa syari’atnya nabi Muhammad SAW.
Al Imam syafi’I memperbolehkan istihsan dengan catatan tetap bersandar pada sumber hukum sebelumnya. Jika secara mutlak dikatakan beristihsan tanpa nash al qur’an, sunah, ijma’ dan qiyas, maka hal tersebut lebih dekat kepada dosa bagi orang ahli ilmu, terkecuali orang yang selain ahli ilmu.
Dalam akhir kitab beliau ini, dijelaskan pula tentang kedudukan ijma’ dan qiyas. Ijma’ dan qiyas menempati kedudukan setelah al qur’an dan sunah. Sunah menempati kedudukan dibawah al qur’an karena al qur’an mengandung kebenaran dhahir dan batin. Sedangkan sunah hanya mengandung kebenaran dhahir saja disebabkan dimungkinkan adanya kesalahan dalam perawinya. Dari sini, tidak dibenarkan menghukumi dengan sumber yang lebih lemah. Misalnya, menghukumi dengan sunah sedangkan dalam al qur’an ada hukumnya. Begitu juga tidak boleh menghukumi dengan ijma’ dan qiyas apabila ada dalam sunnah. Sebagaimana halnya diperbolehkannya tayammum sebagai ganti thaharah pada saat tidak ada air. Ketika ada air, tayammum tidak boleh digunakan sebagai thaharah.
Wallahu A’lam bishshowab
Sumber :
1. Ar Risalah, Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’I, tahqiq Dr. ‘Abdul Latif Al Hamim dan Dr. Mahir Yasin Al Fahl, Dar a;l Kutub al Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 2005, cet. I.
2. Mu’jamul Muallifin : Tarajum Mushonnifil Kutubil ‘Arabiyah, ‘Umar Ridlo Kahhalah, Dar Ihya’ at Turats al ‘Arabiy, juz 9,
3. Al Mustadrak ‘Ala Mu’jamil Muallifin Tarajum Mushonnifil Kutubil ‘Arabiyah, ‘Umar Ridlo Kahhalah, Muassasatur Risalah.
4. Al Munawwir, K. H. Ahmad Warson Munawwir, Pustaka Progresif. edisi II