Kritik Akal Islam Menurut Mohammed Arkoun

By | 07/06/2010

Tulisan tentang: Kritik Akal Islam Menurut Mohammed Arkoun

Latar Belakang Tokoh

Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak disebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah). Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, Dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan diantara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.

Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari Dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain. Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci” atau “pemimpin keagamaan (alfa)” merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa Kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, Bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid.
Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.
Pendidikan dan Pengalaman Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan kesekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris. Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.
Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III). Arkoun juga sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.
Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis. Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi), filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu.
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistem, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifiedernier).
Arkoun juga bisa mengambil konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).
Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi beberapa hal yang sebagian esar ditulis dalam Bahasa Prancis , antara lain:
a. Aina Huwa al-Fikr al-Islam (1993); membahas tentang upaya membongkar wacana hegemonik dalam Islam dan Post-modernisme.
b. Arab Thought (1988); mengupas fakta al-Quran, pembentukan pemikiran Arab, pemikiran Arab klasik, konservasi nilai-nilai, keterputusan dan kebangkitan tradisionalisme, serta ledakan modernitas.
c. Al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad (1990), Al-Fikr al-Islami:Qiraah Ilmiyah (1987), dan Al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah (1990); masing-masing menjelaskan perlunya kritik, ijtihad dan pembacaan ilmiah atas pemikiran Islam serta uraian tentang etika dan polotik dalam Islam.
d. Bersama Louis Gardet menulis al-Islam al-Ams wa al-Islam al-Ghad (1983); mengungkapkan aspek sejarah dalam Islam dan umat Nabi, kelompok spiritual, nilai-nilai keagamaan Islam, modernitas, sosiologi dan antripologi kritis.
e. Al-Islam, Auruba, al-Gharb: Rahanat al-Ma’na wa Iradat al-Haimanah (1995); berisi tentang interview-nya bersama Halim Shalih dan kupasannya tentang masa depan pemikiran Arab.
f. Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Arabi al-Islami (1986); berbicara seputas antropologi agama, pemahaman “akal Islam” dan kesadaran Islami.
g. Lectures du Coran (1982); menerangkan bagaimana cara membaca al-Quran, persoalan Islam dan politik serta haji.
h. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (1994); berisi tentang usaha memikirkan kembali persoalan Islam dan keimanan secara tematik.
i. The Consept of Revelation: From the People of the Book to the Societies of the Book (1987); yang berisi tentang penawaran “masarakat kitab” dalam rangka pembongkaran berbagai polemik ahli kitab dengan memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Kritik atas “Akal Islam”

Menurut pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal, orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reasondan Critique of Practical Reason, dan Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet menggunakan istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah mengenai revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir berbagai literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan bertentangan.
Menurut Arkoun keadaan ini bisa dibandingkan dengan peristiwa turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia menganalogikan bahwa Peristiwa itu (Revolusi Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas sejak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.
Adapun kata akal, merujuk pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia untuk berpikir. Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata dari suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesis tentang realitas. Akal bisa berubah, seiring dengan perkembangan alat-alat yang ditemukan akal itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan bahwa akal bukanlah konsep abstrak yang melayang-layang di udara, ia adalah konsep konkret yang bisa berubah-rubah. Ia mempunyai sejarahnya dan memang terus meyejarah.
Arkoun membedakan bahan dan postulat antara akal religius (religius reason) dan akal filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius misalnya, ada metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mistis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: Yahudi, Kristen dan Islam, sementara akal filosofis digunakan oleh filosof Yunani. Menurutnya, penemuan revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) akal –dan menempatkannya dalam posisi rasional— terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada abad 18, telah merubah akal secara radikal dengan menghasilkan akal “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. Akibatnya, akal (atau alam pikiran) umat Islam belum bisa lepas dari mental abad pertengahan yang kental dengan ortodoksis medan dogmatisme. Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam dengan memakai “pisau” epistem Michael Foucault.
Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik adalah jenjang kedua yang merupakan medan taklid sistem berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang dikenal dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga penggalan (ruputure) epistem ini, tampaknya Arkoun bermaksud untuk menjelaskan term “yang terpikirkan” (le pensable/thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought), untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam. Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan.
Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity). Baginya, lantaran As-Syafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “yang terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Demikian Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme abad skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam akal Arab-Islam dewasa ini.
Itulah “Akal Islam,” karena selalu merujuk pada pokok-pokok (ushul) dan otoritas yang sama. Akal Islam yang plural tersebut adalah akal mu’tazilah, akal para filsuf, akal para sufi, akal sunni, akal syi’ah dan sebagainya. Secara historis akal–akal tersebut saling berseteru, bersaing dan bermusuhan, namun demikian mengandung unsur pokok yang sama. Berdasarkan unsur tersebut, selalu terbuka kemungkinan adanya gagasan tentang “akal islam” yang tunggal.
Dengan kritik historisnya, Arkoun menemukan karakteristik umum akal-akal Islam. Pertama, ketundukan akal-akal kepada wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sebab dihadapan akal-akal itu ia memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang mengatasi manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua, penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh dibantah atau didebat, walaupun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan perselisihan. Para imam mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk istimbath hukum. Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, akal beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas abad pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi modern. Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekontruksi terhadap epistem ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan. Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literatur tafsir Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi.
Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir sebagai sajarah penggunaan Al-Qur’an, sebagai dalih: Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya”-nya dari pada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.
Menurutnya, pola hubungan yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya, membuat teks kedua memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” dari pada pencarian suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung didalamnya. Karena itu, berbagai literatur tafsir di satu sisi memang membantu mengantarkan kita untuk memahami Al-Qur’an namun, disisi lain kadang malah merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an.
Lantaran “menggeologis” itulah, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan kemajuan. Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di masa kini; dihormati, namun pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis, menjadi kejadian budaya semata. Demikian kompleks dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis adalah sangat mendesak. Berangkat dari persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan: Bagaimanakah kita dapat melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) terhadapnya? Bagaimanakah kita dapat memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad?
Untuk memecahkan persoalan ini, Arkoun melakukan kritik atas akal Islam dengan menggunakan dua tahap (metodologi). Pertama; tahap historis atau klarifikasi historis. Kedua; tahap filosofis atau tahap penilaian menyeluruh. Menurutnya, tugas sejarah adalah melakukan tugas kritis terhadap seluruh data, materi, dokumen tafsir dan sebagainya. Data-data tersebut harus dijelaskan apa adanya melalui metode-metode sejarah modern, terlepas dari apakah yang bersangkutan senang atau tidak. Sementara tugas filsafat adalah melakukan kritik epistemologis terhadap keseluruhan data tersebut dengan ememras kesimpulan-kesimpulan umum dari kerja kesejarahan serta hasil-hasil empiris yang ditemukan.
Arkoun menegaskan; mesti diambil pendekatan sejarah, sosiologi, dan antropologi, bukan untuk menafikan pentingnya pendekatan teologi dan falsafah tetapi untuk memperkaya, dengan memasukkannya dalam keadaan-keadaan sejarah dan sosial yang nyata di mana Islam selalu diamalkan. Berabad-abad lamanya agama didominasi oleh konstruksi worldview yang berlainan dan rumit sehingga realitas-realitas dipandang, dihakimi, diklasifikasi, diterima, dan ditolak tanpa adanya kemungkinan dilihat kembali kepada proses mental sejarah yang membawanya pada worldview. Dalam hal ini, kaedah Arkoun ialah ‘dekonstruction’, Strategi dekonstruksi hanya mungkin dilaksanakan dengan epistemologi moden yang kritis.

Penutup

Di tangan Arkoun, wacana pemikiran Islam kontemporer menjadi berbeda. Intelektual asal Aljazair yang sangat mengagumi Immanuel Kant, filsuf Jerman ini, menggunakan metodologi kritis untuk mendekati setiap studinya terhadap pemikiran Islam. Hasilnya, Arkoun mendapatkan jawaban-jawaban yang berbeda dari pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya biasa (common question uncommon answer). Dalam hal kritisisme, Arkoun memang melampaui para intelektual muslim segenerasinya.

Menurutnya, wacana logosentrisme telah menutupi realitas dan menghambat dorongan-dorongan manusia yang kreatif dan tajam. “Kebenaran” yang dihayati dan hidup dalam keunikan telah musnah di balik universalitas sebagai akibat dari sakralisasi ajaran dan transendentalisme periode formatif Islam. Dalam visi logosentrisme, semua masalah cukup diselesaikan sekali untuk selamanya. Arkoun ingin mengkritik rasionalisme atas nama sejarah dan memberi tekanan kritisnya pada niat para pemikir Islam, bukan pada pengaruh yang ditimbulkannya.
Pada intinya, Arkoun ingin membebaskan manusia dari dunia mitos yang terlahir dari masa silam yang eksklusif. Ia ingin membebaskan kaum muslimin untuk menjadi diri mereka sendiri. Dengan melakukan kritik atas akal Islam, ia berharap bisa menghilangkan alienasi dengan menguji kebenaran semua dimensi memori kolektif dan menghantam kemungkinan satu dimensi bagi siapapun yang mengajukan dirinya sebagai pemilik kebenaran tunggal.

DAFTAR PUSTAKA


Amin Abdullah, Falsafah Kalam era Postmodernisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995
Dedy D. Malik dan Idy Subandy I., Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nurcholis Madjid dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman, 1998
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Bandung, Mizan, Bag. I, 2002
Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, Yogyakarta, ar-Ruzz, 2007
Tim Penyusun, Suplemen Ensiklopedi Islam, jakarta, Pt Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996
Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun: Cara Membaca al-Qur’an, dalam http://www.islamlib.com, 7 September 2002
Luthfi Assyaukanie, Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam, dalam http://www.assyukanie.com, 3 Juli 2000

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.