Tentang Perang, Adakah Perang yang Sah dan Diperbolehkan?

By | 07/06/2010

Makalah Tentang Perang | Adakah Perang yang Sah dan Diperbolehkan?

Manusia sebagai makhluk sosial merupakan makhluk yang tidak mungkin dapat hidup sendiri atau menyendiri tanpa membutuhkan bantuan sesamanya. Dari situ lalu terbentuklah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam karakter orang dan juga berbagai macam kepentingannya. Dari interaksi itulah, hubungan harmonis tidak selalu dapat diusahakan.

Manusia dalam pergaulannya dengan sesamanya memang tidaklah selalu harmonis sebagaimana yang diharapkan. Beberapa konflik fisik maupun konflik batin kerap saja terjadi. Sejauh tidak banyak menimbulkan kerugian, terjadinya konflik antar sesama bisa dikatakan wajar dan dapat dimaklumi bersama. Perselisihan kerap saja terjadi dikarenakan setiap manusia selalu menggunakan perspektif (idealitasnya) masing-masing dalam memandang segala hal ataupun yang sering kita kenal dengan masalah.

Namun amat disayangkan jika perselisihan tersebut harus terus berlanjut yang tak jelas ujung-pangkalnya. Apalagi jika sampai perang harus dijadikan sebagai jalan finalnya, jelas merupakan suatu tindakan yang sudah keluar dari kewajaran. Sampai kapanpun perang akan selalu menimbulkan banyak kerugian, banyak korban dari kedua belah pihak. Terlebih lagi jika perang sudah digelar secara besar-besaran, berbagai pelanggaran HAM pasti tak dapat terhindarkan.

Ada juga fenomena perang suci, perang atas nama agama, perang membela Tuhan dan sebagainya. Dari masing-masing tersebut, perang tetaplah perang. Namun adakah perang yang dapat dikatakan sah secara hukum, secara moral, secara HAM dan sebagainya? Jika memang ada perang yang sah, perang yang seperti apakah itu? Apakah perang yang secara diam-diam? Atau perang yang sopan.

Pembahasan

Perang merupakan suatu ajang kontak fisik antara seseorang dengan lainnya, antar koloni, maupun antar bangsa. Pada umumnya perang berawal dari sesuatu masalah (konflik) sederhana. Perbedaan pandangan tentang sesuatu misalnya, namun jika suatu pandangan tersebut dianggap sakral sehingga masalah menjadi dibesar-besarkan. Apalagi ketika masing-masing pihak tidak ada yang bersedia mengalah, tentu perang dijadikan sebagai jalan keluarnya. Meski sebetulnya semua orang tahu bahwa perang bukanlah suatu penyelesaian yang bijak.
Selama beribu-ribu tahun, perang dianggap sebagai suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, memuakkan namun tidak terhindarkan. Dalam sejarah Barat, salah satu pertanyaan yang terus-menerus diajukan ialah: dapatkah penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai? Adakah situasi-situasi atau kondisi-kondisi di mana membunuh dapat dianggap sebagai suatu tuntutan moral? Bila membunuh dapat dibenarkan, apakah batasan-batasan moral yang harus diberikan –apabila memang ada?
Santo Agustinus, sebagai upaya dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan, mengatakan bahwa perang boleh saja dilakukan asalkan tidak melanggar peraturan perang yang sah. Doktrin tentang Perang yang Sah ini berusaha untuk mendefinisikan kondisi-kondisi dan situasi-situasi di mana pembunuhan terhadap orang lain menjadi suatu kewajiban moral. Kepedulian utama dari Doktrin tentang Perang yang Sah adalah perlindungan terhadap mereka yang tidak bersalah (orang-orang yang tidak ikut berperang), penyusunan aturan-aturan yang dapat meminimalkan kematian, dan pelaksanaan perang di dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Karena itu, Perang yang Sah tidaklah semata-mata ditentukan oleh kriteria utilitarian semata-mata, tetapi juga oleh sarana-sarananya, prinsip-prinsipnya, dan nilai-nilainya.
Doktrin tentang Perang yang Sah adalah upaya untuk membedakan antara cara-cara yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan dalam penggunaan angkatan bersenjata yang terorganisasi. Teori-doktrin tentang perang yang sah berupaya untuk memahami bagaimana penggunaan senjata dapat dikendalikan, dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi, dan pada akhirnya ditujukan pada upaya untuk menciptakan perdamaian dan keadilan yang abadi.
Tradisi Perang yang Sah membahas moralitas penggunaan kekuatan dalam dua bagian: kapan suatu pihak dapat dibenarkan dalam menggunakan angkatan bersenjatanya (keprihatinan tentang jus ad bellum) dan cara-cara apa yang harus dilakukan dalam menggunakan angkatan bersenjata itu (keprihatinan tentang jus in bello).

Dalam bahasa modern, agar suatu perang dapat dianggap sah maka ia harus memenuhi kriteria berikut ini sebelum penggunaan kekerasan dapat dilaksanakan:
• Alasan yang Sah: Kekerasan hanya boleh digunakan untuk memperbaiki suatu kejahatan publik yang parah (mis. pelanggaran hak-hak asasi seluruh populasi dalam skala yang parah) atau sebagai upaya pembelaan diri.
• Perbandingan Keadilan
• Kekuasaan yang Sah: Hanya penguasa yang diakui sah oleh masyarakat yang boleh menggunakan kekerasan yang mematikan atau menyatakan perang.
• Niat yang Benar: Kekerasan hanya boleh digunakan dalam suatu alasan yang benar-benar sah dan semata-mata untuk maksud itu saja; Memperbaiki kesalahan yang diderita oleh suatu pihak dianggap sebagai niat yang benar, sementara keuntungan materi tidak.
• Probabilitas Keberhasilan: Senjata tidak boleh digunakan dalam usaha yang sia-sia atau dalam kasus, di mana langkah-langkah yang tidak proporsional dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan.
• Proporsionalitas: Kerusakan keseluruhan yang diperkirakan akan ditimbulkan dari penggunaan kekerasan haruslah dikalahkan oleh kebaikan yang akan dicapai.
• Upaya Terakhir: Kekerasan hanya boleh digunakan setelah semua alternatif perdamaian dan upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh diusahakan dengan tuntas.

Demikian Agustinus mengungkapkannya, meskipun sebetulnya sangat jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Sebab ketika perang sudah dimulai, masing-masing pihak pasti menginginkan kemenangannya dan untuk itu strategi pun bermain. Kasus invasi Amerika atas Irak misalnya, dengan dalih menyelamatkan rakyat Irak dari rezim Saddam Husein yang otoriter tapi sebetulnya di balik dalih tersebut George W. Bush sudah merencanakan hiden agenda yang tak bisa dibenarkan secara HAM. Invasi yang dilakukan AS dan sekutunya atas Irak merupakan fenomena riil yang menjadi “pemandangan” horor di seluruh belahan penjuru dunia. AS yang menyebut-nyebut dirinya sebagai penegak HAM justru merupakan penjahat perang yang sangat kejam. Kebijakan atas Irak menjadi bukti nyata begitu “tidak manusiawinya” negara adikuasa yang atas nama HAM berkepentingan menguasai dunia (Irak). Secara tidak langsung, invasi AS atas Irak jelas mengganggu solidartias keberagamaan (Islam).

Dalam peperangan modern, proporsionalitas, seperti yang digambarkan di atas bisa sulit dicapai, karena adanya kecenderungan untuk menempatkan target-target militer di wilayah sipil. Karena itu, ada kalanya korban di pihak sipil terjadi. Kriteria proporsionalitas menggunakan konsep “dampak ganda” –artinya, orang dapat melakukan operasi-operasi militer yang ditujukan kepada sasaran-sasaran atau target-target obyektif, meskipun operasi itu dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif, seperti misalnya korban di pihak sipil. Konsekuensi-konsekuensi negatif itu harus proporsional dengan keuntungan militer. Para pemikir dalam tradisi Perang yang Sah akan menerima bahwa ada ambang yang di luarnya konsekuensi-konsekuensi negatif mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lainnya, bahkan bahaya kemungkinan kalah.

Keberatan serupa juga diajukan juga oleh kaum Pasifisme. Pasifisme adalah keyakinan bahwa perang seperti apapun secara moral tidak sah. Sebuah argumen yang diajukan oleh kaum pasifis untuk menentang Doktrin tentang Perang yang Sah ialah bahwa doktrin itu membela perlindungan dan kesucian nyawa orang yang tidak bersalah, namun dalam suatu peprangan nyawa orang-orang yang tidak bersalah tidak dapat dijamin perlindungannya. Karenanya, bila nyawa orang-orang yang tidak bersalah tidak dapat dijamin, perang pun tidak dapat dianggap sah dengan alasan apapun juga.

Oleh karena itu, dalam kondisi apapun perang memang tidak selayaknya dilakukan. Dikarenakan berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi dan satu-satunya cara untuk menghindarinya adalah dengan menghindari perang. Dan perang bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah, bahkan perang hanya akan memunculkan permasalahan baru.

Nilai-nilai dasar kemodernan (seperti; Demokrasi dan HAM) seharusnya dapat menjadi solusi untuk menghentikan peperang antar negara, antar sesama. Namun justeru malah sebaliknya, apapun prinsip yang diusung perang tetap saja terjadi. Dan mungkin selama manusia masih mempunyai kepentingan, perang akan terus berlanjut. Bahkan, semakin berbudayanya suatu bangsa tekhnik perang pun akan semakin beragam.
Mungkin, kini perang sudah tidak ada namun tekhnik-tekhnik dasar peperangan terus berlanjut. Perang sudah tidak lagi dengan mengangkat senjata namun perang juga bisa dengan pemikiran, budaya, ekonomi dan sebagainya. Perang tetaplah perang, selalu saja ada pihak yang menang dan ada juga yang menangis. Istilah negara dunia ketiga misalnya, merupakan sasaran tembak bagi negara-negara dunia pertama dalam perang budaya maupun perang ekonomi.

Penutup

Dengan kita belajar dari sejarah, kita tahu bahwa perang kerap kali tak dapat terhindarkan. Perang juga kerap kali dijadikan kebanggaan tersendiri bagi suatu bangsa dalam perlombaan mencari daerah jajahan. Agama juga tidak bisa dipungkiri, telah ikut menjadi sebab terjadinya berbagai pertumpahan darah. Bahkan azas-azas kemodernan, yang konon menjadi simbol tingginya peradaban juga telah memicu peperangan di berbagai belahan dunia. Lagi-lagi pihak yang lemah yang selalu menjadi korban. Perang memang membawa banyak penderitaan, banyak korban.
Baik korban harta, benda maupun nyawa dari kedua belah pihak. Terlebih lagi bagi yang kalah; korban segalanya.
Namun di sisi lain, dengan adanya perang telah membuat banyak orang menjadi berpikir, terutama berpikir tentang kedamaian. Bahwa perang bukanlah solusi akhir dari setiap persoalan. Katakanlah Jepang, dengan kekalahannya dalam Perang Dunia II (hancurnya kota Hirosima dan Nagasaki) ternyata telah membawa perubahan yang luar biasa bagi bangsanya. Jepang yang awalnya kolot dan menutup diri, setelah kekalahannya berubah menjadi negara terbuka, sadar akan pendidikan, bahkan terbilang sebagai negara Asia paling maju.
Kejamnya perang memang selalu membawa persoalannya tersendiri. Si pemenang perang bukanlah dia yang sanggup mengalahkan lawannya namun dia yang sanggup mengalahkan dirinya. Hanya yang sadar diri dan sanggup mengendalikan dirinya, ialah pemenang perang yang sesungguhnya.
 

DAFTAR PUSTAKA


H. De Vos, Pengantar Etika, (terj. Soejono Soemargono), Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2002.

Paul Treanor, Kebohongan Demokrasi, (terj. Imron Rosyadi-Mohammad Nastain), Yogyakarta, Adiputra, 2001.
Doktrin Tentang Perang yang Sah, tertanggal 22 Agustus 2007, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Doktrin_tentang_Perang_yang_Sah.
Novriantoni, Perang dan Tafsir Agama, tanggal 7 November 2007, dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=22
Mark Juergensmayer, Sekularisme Seharusnya Sejalan Dengan Religiusitas, tertanggal 31 Juli 2003, dalam http://www.tempointeraktif.com/harian/wawancara/waw-MarkJurgensmeyer01.html
Jihad, tertanggal 31 Oktober 2007, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Jihad.
Salahudin Al-Ayubi, tertanggal 21 April 2005, dalam http://dhani.blogspot.com/2003/09/saladin.html
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.