Kepemimpinan Wanita dan Wanita Karier

By | 17/11/2011

 

BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini Islam memiliki banyak pandangan atau pendapat mengenai kepemimpinan. Wacana kepemimpinan yang berkembang ini, di awali setelah Rasulullah SAW wafat. Masyarakat Islam telah terbagi-bagi kedalam banyak kelompok atau golongan. Kelompok-kelompok Islam ini terkadang satu sama lain saling menyalahkan atau bahkan mengkafirkan.

Kondisi seperti ini sangatlah tidak sehat bagi perkembangan Islam. Permasalahan perbedaan argumentasi harusnya dapat di selesaikan dengan mekanisme diskusi dengan menggunakan logika. Dengan menggunakan logika kita dapat menilai suatu argumentasi absah dan benar. Janganlah sampai suatu kebenaran harus disingkirkan hanya karena ego kita.

Kebenaran haruslah dijunjung tinggi. Karena kebenaran adalah sesuainya pernyataan dengan kenyataan. Kenyataan (realitas) tidaklah mungkin menipu, akan tetapi kepahaman kitalah yang bisa jadi belum sampai pada realitas tersebut. Atau kepahaman kita sebenarnya telah sampai pada realitas (kenyataan), namun egoisme kitalah yang menyuruh untuk menolaknya.

BAB II
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

A. Definisi Pemimpin
Secara implisit kaum Syi’ah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan politik saja, tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan Imamah melingkupi seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama maupun politik.
Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan berpolitik. Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk berkecimpung didalam dunia politik. Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat), tidak ada hubungannya dengan dunia politik (publik). Sehingga peran Ulama hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan semata, jangan mengurusi kehidupan dunia politik. Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan atau alat legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa Ulama haruslah memimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual.
B. Syarat Menjadi Pemimpin
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, haruslah merupakan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.” Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak.
Seorang pemimpin harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah Allah tersebut terhadap segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang pemimpin harus bisa menjadi murabbiy bagi kehidupan di bumi.Seorang pemimpin haruslah seseorang yang benar-benar mengenal Allah, yang pengenalan itu akan tercapai apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).Seorang pemimpin harus memiliki dua kriteria: al-’ilmu dan al-quwwat.

BAB III
KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM

Gagasan persamaan atau kesetaraan laki-laki dan wanita telah dinyatakan oleh Islam sedemikian jelas dan dipercayai semua orang, namun persoalannya menjadi tidak sederhana ketika memasuki pertanyaan dalam hal-hal apa saja persamaan dan keteraan itu diberlakukan? Perdebatan sengit muncul antara dua kutub pandangan yang saling berhadapan antara pemikir modern yang progresif-liberal dengan pemikir tradisional yang konservatif.
Aliran pemikir modern menyatakan bahwa Islam tidak toleran terhadap kaum wanita. Sebagai contoh adanya hukum poligami, seorang istri harus tinggal di rumah, tabir pembatas, hak Thalak di tangan kaum pria,kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan istri di tempat tidur, perbudakan, kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, dan bagian kaum pria lebih banyak dari wanita (dalam hal pembagian harta warisan).
Adapun masalah yang berkenaan dengan pernyataan bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, merupakan realitas yang terjadi di setiap tempat, baik dalam negeri Islam, negeri Kristen, maupun negeri yang tidak mengenal Tuhan dan agama, itu tidak benar. Kepemimpinan kaum pria atas kaum wanita merupakan realitas yang tidak mungkin dipungkiri dan memang terjadi di berbagai belahan bumi. Hal tersebut sudah merupakan tabiat, kemampuan, dan kekuasaan kaum pria yang telah ditentukan oleh sang Pencipta.
Islam benar-benar telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita dan memuliakannya dengan kemuliaan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain. Wanita dalam Islam merupakan saudara kembar laki-laki; sebaik-baik mereka adalah yang terbaik bagi keluarganya.Wanita muslimah pada masa bayinya mempunyai hak disusui, mendapatkan perhatian dan sebaik-baik pendidikan dan pada waktu yang sama, ia merupakan curahan kebahagiaan dan buah hati bagi ibu laki-lakinya.
Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, mapun sebagai anak. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini disebutkan dlm firman Allah;
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.Hanyakepada-Kulahkamukembali.”(QS.Luqman:14)

BAB IV
KEPEMIMPINAN WANITA SEBAGAI KEPALA NEGARA

Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan. Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan.
Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya.
a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
System kenegaraan dalam islam adalah khalifah Islamiyah, bukan system republik, kerajaan, federasi ataupun kekaisaran.Rasulullah saw bersabda:
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifaha (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Sahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam.
b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan.Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (’aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya..
Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS An-Nisaa’ [4]:32)

BAB V
PENUTUP

Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa adanya perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin adalah berkisar pada bentuk sebuah negara dan arti pemimpin itu sendiri serta kriteria menjadi seorang pemimpin. Banyak kalangan berpendapat bahwa sistem negara yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah sistem negara Islam dengan pemimpinnya seorang Imam atau Kholifah.Menurut pendapat ini, pemimpin wanita adalah tidak boleh karena wanita tidak memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin.
Namun juga ada yang berpendapat bahwa negara yang di maksud adalah Negara dalam arti umum yang kepala negaranya adalah seorang Presiden.Menurut pendapat ini, sah sah saja pemimpin seorang wanita karena belum tentu pemimpin laki-laki lebih baik dari perempuan.
Merujuk pada berbagai macam argumen dan dalil-dalil yang menguatkan argumen-argumen tersebut kami menyimpulkan bahwa pemimpin wanita dalam islam tidak boleh atu tidak sah.Sudah sangat jelas tentang adanya Nash Al-qur’an dan Hadist Nabi yang melarang wanita menjadi seorang pemimpin.
Hukum-hukum Allah adalah suatu keniscayaan yang mengatur ummat manusia, yang membantu manusia dalam mencapai realitas kebahagiaan. Hukum-hukum Allah ditegakkan agar keadilan dan kebenaran dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan terdzalimi.Sekarang ini untuk terjaganya hukum-hukum Illahiah yang mengatur kehidupan umat manusia dan masyarakat, maka di butuhkan seorang pemimpin yang memiliki pengetahuan luas tentang hukum Allah dan keadilan, akhlak yang mulia, matang secara kejiwaan dan ruhani, kemampuan mengatur (mengorganisasi), dan memiliki pola hidup yang sederhana. Intinya pemimpin haruslah wujud dari hukum Islam itu.
 

DAFTAR PUSTAKA

– Dr.Mansour Faqih (1999), Otonomi Perempuan Menabrak Ortodoksi, Yogyakarta: Lentera
– Ibrahim Muhammad Al Jamal (1986), Fiqhul Mar’ah,Alih Bahasa Anshori Umam, Semarang.
– Musthofa Mahmud (2003), Dialog Bersama Saudaraku Yang Ingkar, Jakarta:Balai Pustaka.
– www.kafemuslimah.com, www.gerbangislami.com, www.womencorp.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.