Perkawinan Penghayat Kepercayaan

By | 17/10/2010

Penelitian tentang Perkawinan penghayat kepercayaan – Fakta, dasar hukum, dan landasan teori.
Setelah Konghucu diakui negara, kini giliran penganut aliran kepercayaan yang menanti pengakuan. Mungkin banyak kalangan sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama “resmi” masuk ke Nusantara, setiap daerah memiliki agama atau kepercayaan asli, seperti agama Buhun (Jawa Barat), Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), agama Parmalim (Batak), Kaharingan (Kalimantan), dan sebagainya.

Bagi agama “resmi” dalam arti yang kini diakui negara, agama-agama asli Nusantara tersebut dianggap sebagai ajaran animisme, penyembah berhala/batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan. Penilaian seperti ini terjadi karena sempitnya definisi mengenai apa itu agama, dan karena definisi ini dibuat orang-orang dari agama-agama “resmi” tersebut.

Hingga kini, tak satu pun agama dan kepercayaan tersebut yang diakui sebagai agama. Kebijakan ini berpengaruh pada hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, walaupun tokoh-tokoh agama-agama tersebut telah memperjuangkannya.

Lies Sugondo, anggota Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM), mengakui bahwa selama ini perkawinan antara penganut aliran kepercayaan tidak pernah dicatat, sehingga kelahiran anak-anak dari perkawinan antara aliran kepercayaan juga tidak dicatatkan. Akibatnya hubungan hukum si anak hanya dengan ibunya dan tidak punya hak untuk menggugat hak waris ke ayah. Dengan demikian hubungan ke ayah hanya hubungan biologis.
Permasalahan
Ada beberapa permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya perkawinan bagi aliran kepercayaan, yaitu:
a. Dimanakah tempat pencatatan perkawinan bagi aliran kepercayaan;
b. Bagaimana akibat Hukum Perkawinan bagi aliran kepercayaan;
c. Bagaimana Analisis Tentang Pencatatan Perkawinan Bagi Aliran Kepercayaan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai bahan referensi bagi para pelaku akademis utamanya bagi yang menempuh di bidang hukum, agar mengetahui dan memahami serta dapat menganalisis suatu keadaan/realita di masyarakat kita ini, tentang adanya para penghayat kepercayaan yang sampai saat penelitian ini dilakukan, masih sering terjadi diskriminasi bagi mereka yang menganut penghayat kepercayaan. oleh karena itu, dengan adanya makalah ini, diharapkan bagi para akademisi utamanya akademisi hukum, untuk dapat memberikan suatu solusi bagi para penghayat kepercayaan agar hak-haknya (utamanya dalam melakukan suatu perkawinan) dapat terpenuhi.

FAKTA, DASAR HUKUM DAN LANDASAN TEORI
Fakta
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pencatatan Perkawinan Kelompok Kepercayaan dan Masyarakat Adat kini tengah digodok antar departemen (interdep): Departemen Budaya dan Pariwisata, Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Departeman Agama. Usulan agar RPP itu tidak lagi mengatur proses perkawinan, melainkan hanya sebagai pencatat perkawinan masyarakat adat, diakomodir.

Usulan tersebut merupakan salah satu hasil rekomendasi dari acara workshop tentang Pertemuan Komunitas Lokal untuk Advokasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pencatatan Perkawinan Kelompok Kepercayaan dan Masyarakat Adat, yang diselenggarakan Desantara, lembaga yang concern terhadap kebudayaan, di GG House, Jl. Puncak Raya, Cipayung, Bogor Jawa Barat, pada tanggal 28-29 Agustus 2004.

Selain usulan agar PP sebagai pencatat saja, dan tidak mengatur proses perkawinan penganut kepercayaan, dalam kesempatan itu juga disepakati agar ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan penganut kepercayaan dan agama lokal hanya bisa dilakukan jika penganut kepercayaan dan/atau agama lokal itu memiliki organisasi berbadan hukum, supaya diperlonggar.

Artinya, bagi penganut kepercayaan yang mempunyai organisasi, dipersilahkan untuk meminta restu dari pengurus atau pemuka organisasinya. Tapi bagi kelompok kepercayaan dan masyarakat adat yang tidak punya organisasi tidak perlu. Misalnya cukup dengan restu dari pemukanya, atau orang-orang yang menjadi saksi dalam perkawinan itu.
Kedua masukan itu, diapresiasi oleh Departemen Dalam Negeri dan departemen lain saat melakukan pembahasan tertutup mengenai RPP Pencatatan Perkawinan Kelompok Kepercayaan dan Masyarakat Adat yang dilaksanakan pada tanggal 3 dan 7 Mei lalu. Karena pembahasan itu bersifat hanya untuk kalangan orang-orang departemen, hingga saat ini, belum diketahui hasilnya.

Sebagai informasi, RPP Pencatatan Perkawinan Kelompok Kepercayaan dan Masyarakat Adat merupakan penjabaran dan pelaksanaan secara teknis untuk pencatatan perkawinan dari Undang-Undang No.26/2006 tentang Administrasi Penduduk, pasal 105 yang bicara mengenai pengaturan pencatatan perkawinan kelompok kepercayaan dan masyarakat adat, yang disahkan pada bulan Desember 2006 lalu.
Dasar Hukum
Dasar hukum pencatatan perkawinan,
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Upaya Hukum
Hingga hari ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang berpotensi melahirkan diskriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bagi aliran kepercayaan di Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan Kantor Catatan Sipil yang menolak proses pencatatan perkawinan agama Djawa Sunda, karena agama ini dianggap di luar agama resmi versi pemerintah.
Padahal sejak ditetapkan UU No1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka mulai saat itu tidak berlaku lagi peraturan perkawinan Adat, hukum Islam, Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (HOCI), hukum perkawinan Perdata Barat (KUHPerdata) dan perkawinan campur (reglemennt Gemengde Huwelijken/RGH). Oleh karena itu UU No 1 tahun 1974 adalah merupakan produk hukum perkawinan yang spektakuler, karena merupakan upaya pengkodifikasian hukum perkawinan Indonesia yang cukup komprehensif.
Bersamaan dengan diundangkannya UU.No 1/1974 itu, diterbitkan pula Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974. Namun, patut disayangkan dalam UU perkawinan ini, masih bersemayam beberapa sisi diskriminasi terhadap aliran kepercayaan
Adalah realitas yang tak terbantahkan bila Indonesia adalah negara multietnik, multiagama dan multikultural. Namun UU Perkawinan ini tampaknya tak cukup mengakomodasi kepentingan multietnik dan multi- agama itu. Lihatlah, ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No. 1/1974 menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Kemudian Ayat (2) menyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk memperjelas tafsiran makna Pasal 2 Ayat (1) UU No 1 tahun 1974 itu, maka pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No 477 Tahun 1978 yang menyatakan, bahwa agama resmi yang diakui oleh pemerintah hanya lima, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Sedangkan untuk memperjelas maksud Pasal 2 Ayat (2) UU No 1/1974, dalam hal pencatatan perkawinan pemerintah telah membuat ketentuan sebagaimana maksud Pasal 2 PP No 9 Tahun 1975, tentang Penetapan Kantor Pencatatan Perkawinan, yakni untuk yang beragama Islam dilakukan sesuai amanat UU No 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Perceraian, Talak dan Rujuk yakni di Kantor Urusan Agama (KUA) atau lembaga lain di bawah institusi Departemen Agama. Sedangkan untuk yang beragama non Islam di lakukan di Kantor Catatan Sipil di bawah Institusi Depdagri.
Padahal dalam perspektif HAM penolakan pencatatan perkawinan dengan alasan karena status aliran kepercayaan tidak diakui secara resmi oleh pemerintah, adalah merupakan tindakan yang diskriminatif dan berpotensi memasung hak-hak individu dalam sebuah negara dan pendistorsian dalam pemuliaan martabat manusia (human dignity).
Karena itu, penolakan pencatatan perkawinan hanya berdasar agama resmi dan tidak resmi versi pemerintah merupakan ciri dari negara yang telah mempraktekkan sinisme dan tafsir kebenaran tunggal atas suatu etnis dan agama tertentu. Klaim agama resmi dan tidak resmi versi pemerintah ini sebenarnya merupakan tindakan yang telah melanggar ketentuan dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Klaim pengakuan negara terhadap lima agama resmi ini juga telah melanggar HAM, yakni hak untuk mendapatkan pengakuan secara resmi oleh pemerintah untuk memeluk agama yang diyakininya.Dengan demikian negara telah memproduksi pola diskriminasi terhadap warga negaranya yang seolah-olah telah menggiring warganya pada satu pilihan agama diantara lima agama resmi versi pemerintah itu. Klaim ini juga menunjukkan, bahwa negara belum dapat secara pasti dan sungguh-sungguh dalam menjamin kebebasan warganya untuk menentukan pilihan menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Ada kesan negara telah mengingkari pluralisme agama dan ragam budayanya sendiri.
 
PEMBAHASAN
Tempat Pencatatan Perkawinan
Saatnya kini dipikirkan tentang mekanisme pencatatan perkawinan bagi semua golongan, etnis, agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dijadikan dalam satu atap, yakni di bawah institusi Departemen Agama Republik Indonesia (Depag RI).
Argumentasi yang mendasari gagasan ini, adalah berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU. No 1/1974 yang menyatakan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena esensi perkawinan adalah menyatukan unsur hukum positif (administrasi) dan hukum agama tertentu, maka secara administratif tidak perlu di pisahkan pencatatan perkawinannya antara yang beragama Islam (di Depag RI) dan non islam (di Depag RI).
Bukankah Depag RI adalah departemen yang melindungi dan mengurusi masalah administrasi agama-agama di Indonesia? Karena itu selayaknya Depdagri melepaskan kewenangan pencatatan perkawinan non Islam pada departemen yang berkompeten mengurusi administrasi agama yaitu Depag RI.
Di atas segalanya di tengah perayaan Imlek tahun 2007 ini, saatnya SE Mendagri No 477 Tahun 1978 segera di cabut, Pasal-Pasal dalam UU No 1 Tahun 1974, berikut peraturan pelaksanaannya, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berpotensi melahirkan diskriminasi hukum bagi etnis Tionghoa dan mungkin etnis lainnya untuk segera dilakukan pembaruan.
 Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan
Terdapat beberapa akibat hukum tentang tidak dicatatnya suatu perkawinan, diantaramya adalah :

a. Perkawinan Dianggap tidak Sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.

Analisis Tentang Pencatatan Perkawinan Bagi Aliran Kepercayaan

Untuk menghilangkan diskriminasi bagi penganut aliran kepercayaan, dalam waktu dekat pemerintah akan segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi penganut aliran kepercayaan. Selama ini penganut aliran kepercayaan sulit mencatatkan perkawinannya karena tidak diakomodasi oleh instansi cacatan sipil. Berdasarkan Undang Undang 1/l974 tentang perkawinan, kecuali yang beragama Islam, semua pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama lain disahkan oleh petugas cacatan sipil.

Masalahnya, penganut aliran kepercayaan menganggap aliran kepercayaan bukan merupakan agama tertentu, tetapi mereka mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan mereka menuntut diberi hak sipil seperti pemeluk agama lain. Jadi selama ini perkawinan mereka tidak bisa disahkan di catatan sipil, akibatnya secara hukum dianggap kumpul kebo. Soal inilah yang kami pecahkan.

Pembuatan PP tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan tersebut adalah amanat Undang Undang 22 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang disahkan 29 Desember tahun lalu. Dalam pasal 105 undang undang itu diatur bahwa dalam waktu enam bulan sejak disahkannya undang-undang itu, pemerintah wajib menerbitkan peraturan pemerintah tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan.

Rencana ini disambut gembira oleh Djoko Sumono, ketua Presidium II Badan Kerjasama Organisasi-Organisasi Kepercayaan. Dikatakannya, selama ini penganut kepercayaan kesulitan mencatatkan perkawinannya di kantor cacatan sipil. “Kondisi ini seperti penganut agama Kong Hu Cu beberapa tahun lalu, tapi kan sekarang pencatatan perkawinan penganut Kong Hu Cu sudah bisa dilakukan di cacatan sipil,” kata Djoko.

Menurut dia, di seluruh Indonesia hanya ada dua kantor catatan sipil, yaitu di kabupaten Kebumen dan kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang bersedia melayani pencatatan perkawianan penganut aliran kepercayaan. “Pemda di sana juga memakai dasar Undang Undang 1/l974, tetapi di tempat lain tidak bisa. Ini kan namanya diskriminasi,” katanya.

Karena itu, menurut Djoko Sumono, pengesahan perkawinan bagi penganut aliran kepercayaan di catatan sipil harus segera diakomodasi oleh pemerintah. “Jika tidak, bisa menjadi masalah,” katanya. Sebab, saat ini banyak penganut aliran kepercayaan yang terpaksa memilih memeluk agama tertentu, tanpa menjalankan syariatnya, hanya karena untuk menghindari diskriminasi. Padahal, saat ini di Indonesia ada 248 organisasi aliran kepercayaan dengan anggota sekitar 9 juta orang.
PENUTUP
 Kesimpulan
1. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
2. Akibat hukum tentang tidak dicatatnya suatu perkawinan, diantaramya adalah :
• Perkawinan Dianggap tidak Sah
• Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
• Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Saran-Saran
1. Diadakan pengesahan perkawinan bagi penganut aliran kepercayaan.
2. Diadakan pencatatan perkawinan bagi penganut aliran kepercayaan di kantor catatan sipil dan harus segera diakomodasi.
3. Pembuatan PP tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penghayat kepercayaan

DAFTAR PUSTAKA

1. Harian TEMPO Interaktif, Surabaya (28/10/06). Tempo.com.
2. Undang Undang No1 Tahun l974 Tentang Perkawinan.
3. Hukum online.
4. PP No 9 Tahun 1975 Tentang Penetapan Kantor Pencatatan Perkawinan

Download file disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.