Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali tentang “HADIAH DAN HUKUMAN”
Al-Ghazali adalah seorang ulama’ besar yang sebagian beser waktunya dihabiskan untuk memperdalam khazanah keilmuan. Perhatiannya yang sangat besar kepada ilmu menjadikan Al-ghazali sebagai salah satu ulama’ islam yang banyak menelurkan hasil buah pemikirannya kedalam bentuk tulisan yang hingga saat ini masih dapat dipelajari serta dianut oleh sebagian kelompok masyarakat.
Hal ini juga membuat para ahli ilmu baik filosof, agamawan, maupun ahli ilmu kalam dll. Merasa tertangtantang untuk melakukan penelitian terhadap hasil karya Al-Ghazali. Sudah menjadi sebuah kewajaran bahwa ”tak ada manusia yang sempurna”. Demikian halnya dengan Al-Ghazali, walaupun banyak orang yang menganggap membela dan menyatakan bahwa Al-Ghazali merupakan pembela islam(hujjatul islam), dan menganggap Al-Ghazali adalah manusia muslim kedua setelah nabi Muhammad SAW dalam membawa dan membimbing ummat melalui pemikiran yang masih dan tetap relevan untuk masa-masa kini (kontemporer) namun, tidak sedikit juga orang yang berasumsi bahwa pemikiran Al-Ghazali kadang bersebrangan dengan rasio. Sehingga ada yang menyatakan bahwa Al-Ghazali merupakan sumber dan pangkal kemunduran islam, dan anti intelektualisme.
Terlepas dari pro dan kontra diatas, ternyata Al-Ghazali juga banyak memberikan perhatiannya terhadap masalah-masalah pendidikan. Hal ini dilakukan Al-ghazali mengingat bahwa islam sangat menjunjung tinggi bagi mereka yang memiliki ilmu dan mereka yang dengan sungguh-sungguh mencari ilmu. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah:
*********
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Al mujadalah. 11
Namun, dalam makalah ini kami mencoba membahas pandangan Al-Ghazali tentang peserta didik serta hadiah dan hukuman. Dan adakah relevansinya terhadap masalah pendidikan saat ini?
A. Sekilas Auto Biografi Al-Ghazali.
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid Al-Ghazali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa Ghazalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia. Atau sekarang yang lebih dikenal negara Iran. Ia juga keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja saljuk yang memerintah daerah Khurosan, Jibal Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz .
Al-Ghazali merupakan anak seorang yang kurang mampu. Ayahnya adalah seorang yang jujur, hidup dari usaha mandiri, pemintal benang dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya juga sering mengunjungi rumah alim ulama’, hal ini dilakukan ayah karena ia pada dasarnya juga sangat senang menuntutu ilmu serta berbuat jasa kepada mereka.
Dia (Al-Ghazali) adalah pemikir ulung islam yang mendapat gelar “pembela islam”(hujjatul islam), “hiasan agama”(zainuddin), ada pula orang yang memanggilnya dengan sebutan”samudra yang menghanyutkan”(bahrun mughriq), dan lain-lain. Gelar tersebut disenmatkan kepada Al-Ghazali karena ia seorang yang mengabdikan hidupnya pada agama dan masyarakat baik melalui pergaulannya ketika beliau masih hidup dan lewat karya-karyanya.
Kira-kira lima tahun sebelum beliau pulang ke hadirat Allah, beliau kembali ke tempat asalnya di Thusia. Ia mengahabiskan waktunya untuk menuntut dan menyebarkan ilmu. Hal ini terbukti setelah ia kembali ke Thusia beliau membangun sebuah madrasah disamping rumahnya. Beliau juga masih sempat untuk mengajar dan menuangkan gagasan-gagasannya kedalam bentuk tulisan. Al-Ghazali wafat pada hari Senin, tanggal 14 Jumadil al-tsani tahun 505 H/18 Desember1111 M. saat itu usia baru 55 tahun. Dan dimakamkan disebelah tempat khalwatnya. Al-Ghazali meninggalkan 3 orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya (Al-Ghazali), dan karena anaknya inilah, ia di panggil “Abu Hamid” (bapak si Hamid) .
B. Riwayat Pendidikan Al-Ghazali.
Sebelum ayahnya Al-Ghazali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua anaknya(seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Al-Ghazali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya). Ayahnya berwasiat kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua anaknya dengan menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.
Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu untuk menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup dalam kekurangan. Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan belajar ke madrasah, salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur mereka untuk menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk kelangsungan hidup mereka
Bersama saudaranya (Ghazali dan Ahmad) tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat itu bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.
Di dalam madrasah tersebut, Al-Ghazali(seorang anak yang dititipkan tersebut) mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan imam Haramain.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut :
“Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh, mantiq ,dan ushul, dan dipelajarinya antara lain: filsafat dari risalah-risalah dari ikhwanus shofakarang Al-farabi, Ibnu Miskawaih. Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghazali dapat menyelami paham-paham Aristothelesdan pemikir Yuunani yang lain. Juga ajaran Imam Syafi’I, Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi, dan lain-lain, bukan tidak membekas pada pendidikan Al-Ghazali. Begitu jugaImam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-Qusyairiyang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar tasawuf kepada Al-Ghazali. Ia juga mempelajari agama-agama lain seperti masehi”.
Dan pada tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selama di Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan lain-lainnya.
C. Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan
Suatu hal yang menarik dari Al-Ghazali adalah kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan pengetahuan sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi samudra keilmuan. Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu yang tidak pernah puas. Ia terus melakukan pengembaraan intelektualitas, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Inilah sebabnya mengapa pemikiran Al-Ghazali terkadang inkonsisten dan kadang terdapat kita temui kontradiksi-kontradiksi dalam kitabnya. Karena di pengaruhi perkembangan sejak muda sekali dan pada waktu mudanya juga ia sudah banyak menuliskan buah pikirannya.
Dalam kaitannya terhadap pendidikan Al-Ghazali memberi pengertian yang masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling Mashur (Ihya’ Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rigit tentang pendidikan. sehingga, kita hanya bisa mengumpulkan pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali yang di kaitkan lewat unsur-unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan:
“sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…”
“… dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang”.
Jika kita perhatikan, pada kutipan yang pertama, kata “hasil”, menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran.
Adapun yang dimaksudkan Al-Ghazali dalam kutipan ucapannya diatas adalah sebuah konsep, dimana dalam sebuah pelaksanaan pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan. Disamping itu, dalam proses pendidikan, Al-Ghazali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai moralitas akhlak. Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian, pendidikan bukan sekedar untuk mencari materi di masa mendatangnya. Melainkan pendidikan harus memiliki rasa emansipatoris. Subuah konsep yang masih saja di dengung-dengungkan oleh pakar ilmu kritis saat ini.
1. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selaim untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemundaratan.
Rumusan tujuan pendidikan didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu:
“ Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku( Q.S. al-dzariat: 56)
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-ghazali tersebut dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Karena ajaran tasawuf memandang dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus didewakan, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia merupakan tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia.
2. Kurikulum pendidikan
Kurikulum disini dimaksudkan adalah kurikulum dalam arti yang sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Pandangan al-ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan mengenai ilmu pengetahuan.
a. Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1) Ilmu syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas:
a) Ilmu ushul (ilmu pokok): ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma
b) Ilmu furu’ (cabang): fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
c) Ilmu pengantar (mukaddimah) ilmu bahasa dan gramatika.
d) Ilmu pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu bukan syari’ah terdiri atas:
a) Ilmu terpuji : ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan); kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
c) Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
b. Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok.
1) Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
2) Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan tentang ilmu beribadat.
3) Ilmu pengetahuan yang kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti dari sifat naturalisme.
c. Berdasarkan setatus hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya dan dapat digolongkan kepada:
1. fardu ‘ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan cabang-cabangnya.
2. fardu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun diantara kaum muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud, maka mereka akan berdosa. Contohnya; ilmu kedokteran, hitung, pertanian dll.
3. Pendidik
Dalam proses pembelajaran, menurutnya, pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih disbandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tua menyelamatkan anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik menyelamatkannya dari sengatan api neraka di akhirat.
4. Metode Dan Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
Prihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.
5. Proses Pembelajaran
mengenai proses pembelajaran, al-ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran.
D. Konsep Al-Ghazali Tentang Peserta Didik
Dalam menjelaskan peserta didik Al-Ghazali menggunakan dua kata yakni, Al-Muta’allim (pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Namun, bila kita melihat peserta didik secara makna luas yang dimaksud dengan peserta didik adalah seluruh manusia mulai dari awal konsepsi hingga manusia usi lanjut. Selanjutnya, karena dalam peembahasan ini hanya terkonsentrasi pada wilayah pendidikan formal maka bahasa peserta didik terbebani hanya bagi mereka yang melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah.
Pemikiran Al-Ghazali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah.
Konsepnya berlandaskan pemahamannya terhadap menafsirkan firman Allah pada surat Ar-Rum ayat 30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Dan hadis Nabi; “ Nabi Muhammad SAW. Telah bersabda: setiap manusia, dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya kedua orang tuanya yang menjadikan ia yahudi, atau nasrani, ataaupun majusi.” (H.R. Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairo) .
Secara bahasa Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), sama dengan kata “khalaqa”. Jadi kata fitrah merupakan (isim masdar) yang berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya manusia “asal kejadian”.
Adapun kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian yang sangat luas. Al-Ghazali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa pokok sebagai berikut:
1. Beriman kepada Allah.
2. Kemampuan dan kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berfikir.
4. Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting.
5. Kekuatan lain lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.
Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghazali dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia.
Hanya saja, dalam hal ini pandangan Al-Ghazali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus berusaha mensucikan jiwanya dari akhlak yang tercela.
Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat- syarat tersebut antara lain :
1. Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al- ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari pendidik.
2. Peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan sebagai satu bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang sesamanya.
3. Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
4. Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat, melainkan ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh- sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tesebut tercapai.
Drs. Abidin ibnu Rusyn, dalam bukunya menjelaskan syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi oleh pesert didik dengan mengacu dari pemahaman pemikiran Al-Ghazali sebagai berikut :
a. Belajar merupakan proses jiwa.
b. Belajar menuntut konsentrasi
c. Belajar harus didasari sikap tawadhu’
d. Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
e. Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
f. Belajar secara bertahap
g. Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
E. Hadiah Dan Hukuman Menurut Pandangan Al-Ghazali.
Sebelum lebih jauh dalam membahas masalah hadiah dan hukuman, Al-Ghazali membagi alat pendidikan langsung menjadi dua komponen; alat pendidikan preventif dan alat pendidikan kuratif. Namun pembahasan tentang hadiah dan hukuman hanya kita batasi pada alat pendidikan kuratif. Karena keduanya termasuk dalam kategori alat pendidikan kuratif.
Dalam alat pendidikan langsung kuratif Al-Ghazali mengkalsifikasikannya lagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut :
1. Peringatan.
2. Teguran.
3. Sindiran.
4. Ganjaran dan,
5. Hukuman.
Seperti yang telah dijelaskan pada subtema diatas, pembahasan hanya mengenai hadiah dan hukuman maka, yang akan kita kaji hanya pada alat pendidikan kuratif yang pada urutan keempat (ganjaran/hadiah) dan kelima(hukuman).
1. Ganjaran Atau Hadiah.
Ganjaran atau hadiah menjadi salah satu alat pendidikan yang diberikan kepada peserta didik sebagai imbalan atas prestasi atau tugas yang tela ia selesaikan dengan baik sehingga hasil yang diharapkan oleh pendidik tercapai.
Dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan sebagai berikut :
“ Kemudian sewaktu-waktu pada si anak telah nyata budi pekerti yang baikdan perbuatan yang terpuji maka seyoyanya ia dihargai, dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan di puji di hadapan orang banyak (diberi hadiah)”.
Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa menurut Al-Ghazali ada tiga macam ganjaran yang di berikan kepada peserta didik, yaitu:
a. Penghormatan (penghargaan), baik menggunakan kat-kata maupun isyarat.
Adapun yang dimaksud dengan penghormatan lewat kata-kata, misalnya, ucapan baik, bagus sekali, pintar, dan kata-kata lain yang mengandung makna penghormatan. Selanjutnya, penghormatan dengan cara isyarat, bisa seperti, menganggukkan kepala, mengacungkan jempol, tepuk tangan, menepuk bahu dan lain-lain.
b. Hadiah, yaitu ganjaran yang berupa pemberian sesuatu/ materi yang bertujuan untuk menggembirakan hati anak. Hadih tidak perlu berupa barang yang mahal harganya yang penting pantas saja. Sebaiknya hadiah jangan terlalu sering diberikan, dan hanya melihat kondisi yang pantas saja, misalnya pada anak yang orang tuanya kurang mampu tapi berprestasi.
c. Pujian di hadapan orang banyak.
Hadiah yang berupa pujian ini dapat diiberikan dihadapan teman-teman sekelas satu sekolahan ataupun di hadapan teman-teman dan orang tua/wali murid, seperti pada waktu penerimaan rapor atau kenaikan kelas.
Pada dasarnya , secara didaktis, ganjaran/hadiah ataupun beserta segala macamnya yang dibahas oleh Al-Ghazali tersebut, telah menjadi acuan dan anutan oleh pakar ahli pendidikan. Bahkan menurut istilah didaktik, hadiah sebagai “fungsi reinforcement” atau fungsi penguatan yang akan lebih mendorong peserta didik untuk lebih giat dan meningkatkan prestasi yang pernah ia capai.
2. Hukuman.
Hukuman ialah suatu perbuatan sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani,sehingga terhindar dari segala macam pelanggarran (H. Marsal HMT,DKK,1977,50).
Dalam hal ini Al-Ghazali tidak sependapat dengan orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah hukuman yang paling aqir apabila teguran, peringatan, fdan nasihat-nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelaggaran.
Demikian itu harus melalui proses untuk memberi hukuman yang secara terinci
dijelaskan oleh Al-Ghazali :
“Kalau anak itu satu kali menyimpang dari budi dan perbuatan baik tersebut dalam satu keadaan, maka sebaiknya orang tua pura-pura lupa dari hal itu dan tidak membuka rahasianya, tidak menjelaskan sianak bahwa tergambarlah keberanian orang lain untuk melakukan perbuatan seperti itu. Sianak itu itu sendiri akan menutup rahasia dirinya dengan sungguh-sungguh, sebab membuka rahasia yang demikian, mungkin menyebabkan ia berani (berbuat kagi) sampai ia tidak dipedulikan lagi biarprpun dibukakan rahasianya”.
Pada tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan terhadap dirinya kemudian ia merasakan akibat perbuatannya tersebut. Akhirnya ia sadar dan insaf terhadap kesalahannya dan berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi kesalahannya.
Apabila dalam tahap pertama ini belum berhasil maka dilanjutkan tahap yang kedua, yaitu berupa teguran, peringatan, dan nasihat-nasiahat sebagaimana penjelasan Al-Ghazali .
“maka dalam tindakan yang demikian kalau sianak masih kembali lagi berbuat tidak baik untuk kedua kalinya, maka sebaiknya ia tegur dengan sembunyi dan persoalan itu dianggap besar (akibatnya) terhadap anak itu. Kepadanya dikatakan awas setelah ini enggkau jangan berbuat sepertti ini lagi ya, kalau sampai ketahuan engkau berbuat demikian, rahasiamu akan diberitahukan kepada orang banyak. Selanjutnyya setiap kali orang tua menegur anak, janganlah anyak bicara dengan hal ini, sebab banyak bicara disini akan menyebabkan sianak enteng mendengar celaan, menganggap mudah mmelakukan kejahatan-kejahatan dan perkataan (nasihat) itu tidak meresap dalam hati si anak”.
Pada tahap yang kedua ini apabila masih belum berhasil, maka Al-Ghazali memperbolehkan untuk memberikan hukuman kepada anak anak denagan cara yang seringan-ringannya dan tidak terlalu menyakitkan badannya.
Pendidikan merupakan jalan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Secara sepintas bila melihat tujuan pendidikan diatas, terkesan bahwa pendidikan yang diharapkan Al-Ghazali hanya bersifat ukhrowi. Akan tetapi jika dikaji lebih mendalam, pendidikan menurutnya tidak hanya bersifat ukhrowi, bahkan ia mengatakan dunia merupakan manifestasi menuju ke masa depan.
Berangkat dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan juga konsep peserta didik. Menurutnya, peserta didik sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Belajar merupakan proses jiwa.
- Belajar menuntut konsentrasi
- Belajar harus didasari sikap tawadhu’
- Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
- Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
- Belajar secara bertahap
- Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah.
Begitu juga pemikirannya terhadap pemberian hadiah dan hukuman, seyogyanya seorang pendidik tidak memberikannya atas dasar sayang dan benci akan tetapi, seorang dalam memberikan hadiah dan hukuman sebaiknnya melihat dari sisi proses yang dilakukan oleh peserta didik yang nantinya pemberian hadiah dan hukuman tersebut di berikan atas tahapan dan kondisi.
Drs. Abidin ibnu Rusyn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, pustaka pelajar, celaban timur, UH III/548, Yogyakarta.54
Prof. Dr. H Ramayulis, Dr. H, Nizar Samsul, M.A, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Quantum Teaching, Ciputat, 2005.
Drs. Zainudin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, 1991.
Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, CET IV, 2009.