Tentang Majelis Dzikir Hubbul Wathon

By | 15/07/2017
MAJELIS DZIKIR HUBBUL WATHON

Deklarasi Majelis Dzikir Hubbul Wathon bersamaan dengan Halaqah Nasional Alim Ulama

SEKILAS TENTANG MAJELIS DZIKIR HUBBUL WATHON

Landasan Pemikiran
Nilai-nilai universal dalam kenyataannya tidak bisa dipraktikkan hanya dari satu sisi semata. Universalitas harus dimodifikasi dengan nilai-nilai kebangsaan yang sejak lama sudah ada di Indonesia. Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi religius yang mengandung nilai-nilai kebangsaan. Agama menjadi bukti sebagai sebuah sistem yang melahirkan moralitas bangsa. Sementara tidak akan mungkin nilai-nilai universal berdiri tanpa adanya pijakan kokoh dalam membangun moralitas.
Nilai-nilai kebangsaan yang ada di Indonesia justru bersumber dari agama dan budaya. Sedangkan keagamaan dan kebudayaan sudah tentu terakomodir oleh Pancasila sebagai ideologi negara.
Lantas bagaimana kaitan Islam dengan universalitas tadi? Berbagai literatur ilmiah menegaskan bahwa Islam merupakan agama universal. Sebagai bukti Islam membawa misi rahmatan lil ‘alamiin, rahmat bagi sekalian alam. Tidak membeda-bedakan kelompok, suku, golongan dan bangsa. Artinya, Islam bukan sebatas agama penutup bagi agama-agama yang dibawa para rasul. Akan tetapi menjadi agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia.
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28).
Oleh karenanya, Islam memiliki prinsip-prinsip yang sempurna untuk menjawab persoalan pada sendi-dendi kehidupan. Sebagaimana Surat Al-Maidah ayat 3: “…pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu menjadi agama bagimu.” Ditambah lagi Surat An-Nahl ayat 89: “Dan kami turunkan kepadamua al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Universalitas Islam menjadi landasan pembentukan wawasan kebangsaan. Islam yang universal adalah amanat Allah SWT yang dilaksanakan untuk kehidupan manusia. Universalitas Islam merupakan kekuatan bagi umat Islam untuk membangun manusia dalam perbedaan corak kondisi dan budaya masing-masing. Penerapan ajaran Islam, khususnya di Indonesia, sejalan dengan keberadaan perbedaan adat.
Pemikiran tersebut membuka ruang agar hidup berbangsa dan bernegara harus lapang dada dan toleran dalam menyikapi berbagai perbedaan yang menjadi kenyataan bangsa Indonesia. Seperti norma-norma kemasyarakatan, adat istiadat, dan kekhasan Indonesia lainnya. Kemasan budaya lokal yang di dalamnya terdapat muatan-muatan ajaran Islam yang punya andil besar dalam membangun masyarakat Indonesia.
Hal itu yang mendorong lahirnya Majelis Dzikir Hubbul Wathon. Majelis yang diinisiasi oleh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan juga Ketua MUI Prof. Dr. (HC) KH Ma’ruf Amin dan Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj ini menganggap bahwa kombinasi ajaran Islam dan tradisi kehidupan masyarakat di Indonesia menjadi sarana paling strategis untuk mempersatukan dan mempertemukan agama (ajaran Islam) dengan nasionalisme dan wawasan kebangsaan.
Pancasila dan Kemajemukan di Indonesia
Harus diakui bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia adalah realita/fakta yang tidak bisa dihindarkan dan tak terbantahkan. Adanya upaya untuk menghilangkan kemajemukan di Indonesia merupakan tindakan yang sia-sia. Kenapa demikian? Karena upaya tersebut justru menabrak realita dan fakta kehidupan berbangsa di bumi nusantara.
Justru kemajemukan di Indonesia harus dikelola dengan baik dan benar. Misalnya, dengan mengutamakan jalinan komunikasi baik antar-pemeluk agama, dan kelompok-kelompok masyarakat. Untuk mendesain pola komunikasi yang baik tersebut, perlu suatu koridor yang mampu membingkai kemajemukan Indonesia. Hal ini agar tidak terjadi potensi konflik dan disintegrasi.
KH. Ma’ruf Amin punya pemikiran yang kemudian dijadikan landasan Majelis Dzikir Hubbul Wathon. Yakni dijadikan landasan bahwa bingkai kemajemukan di Indonesia harus bersifat politis-yuridis dan teologis. Bingkai politis-yuridis adalah kebijakan tentang bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) sebagai konstitusi negaranya. Artinya, keputusan politik para pendiri bangsa itulah yang menjadi konsesus nasional.
Sementara bingkai teologis yang maksud untuk mewujudkan integrasi nasional yang kokoh. Bingkai teologis menjadi perekat, pemahaman kepada seluruh elemen masyarakat tentang begitu pentingnya menjaga integrasi bangsa ini bersama-sama dalam upaya menjaga keutuhan dan kesatuan nasional, baik kaitannya dengan NKRI dan Pancasila.
Terkait Pancasila yang dijadikan ideology negara, para pendiri bangsa (founding fathers) telah bersepakat bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Mereka (pendiri bangsa) menilai kemajemukan di Indonesia harus tetap dipersatukan dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Harus diakui bahwa persatuan dan kesatuan dalam sebuah bangsa yang majemuk tidaklah gampang. Apalagi saat ini sudah muncul gerakan mempersoalkan ideologi Pancasila dari kelompok ekstrim agama, maupun ekstrim sekuler. Sudah barang tentu, tidak lepas dari pengaruh ideologi-ideologi dari luar Indonesia. Karena itu sudah tidak bisa dibantah, bahwa Pancasila dalam konteks kemajemukan Indonesia sebagai pemersatu. Dan jelas, agama (Islam) dengan Pancasila keduanya tidak saling bertentangan.
Pancasila memang bukan agama. Ya, itu hanya kumpulan value (nilai) dan vision (visi). Tepatnya, lima nilai dan visi yang hendak diraih dan diwujudkan oleh bangsa Indonesia ketika berikhtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila itu anti agama, atau agama harus disingkirkan dari rahim Pancasila.
Karena keberadaan agama itu diakui dan dilindungi serta dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama berhak hidup dan pemeluknya pun bebas menjalankan syariat agamanya masing-masing. Tidak terkecuali dengan Islam dan umatnya.
Sebab, dengan value dan visi ketuhanannya justru arah negara Indonesia kelak bukanlah negara sekuler atau negara sosialis-komunis, maupun kapitalis-liberal. Tetapi, sebuah negara yang dibangun berdasarkan nilai dan visi Ketuhanan yang Maha Esa.
Maka sangat ganjil dan aneh, jika agama-khususnya Islam-yang ada di dalamnya hendak disingkirkan, dibuang jauh-jauh dari kehidupan dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendominasi. Di sisi lain, hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu saja dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 1945. Padahal kewajiban menjalankan syariat Islam tetap dijamin oleh sistem hukum di negeri ini.
Karena itu, maklumat atau logika-logika seperti ini, tidak lebih hanyalah tafsiran yang juga nisbi. Bahkan, maaf sangat absurd, pada akhirnya selalu dipaksakan oleh segelintir orang dengan menggunakan kekuatan sebuah rezim.
Memang aneh, di sisi lain, tafsir orang lain atas kebenaran tidak boleh dipaksakan, tetapi mereka sendiri memaksakan tafsirannya atas kebenaran dan bahkan memonopoli tafsiran itu untuk dipaksakan kepada orang lain. Inilah bentuk inkonsistensi cara berfikir. Justru ini merupakan bentuk konsistensi, tepatnya konsisten menolak Islam.
Itulah yang membuat hubungan antara agama, khususnya Islam, dengan negara tidak pernah solid. Ketidaksolidan ini justru terjadi karena adanya pihak yang terus-menerus berupaya membenturkan antara agama dan negara.
Majelis Dzikir Hubbul Wathon menilai bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara harus dibangun di atas nilai-nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan nasional. Perpaduan kekuatan agama (Islam) dan nasionalis (marhaen) harus dikuatkan, agar ada bangunan pemahaman yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salam), toleransi (tasamuh). Kekuatan agama (Islam) dan nasionalis menjadi faktor integratif (pemersatu).
Majelis Dzikir Hubbul Wathon sudah membulatkan tekad untuk menjadi motor penggerak bangsa untuk mencintai tanah air dengan balutan Pancasila. Majelis Dzikir Hubbul Wathon hadir karena secara kondisi kekinian. Bahwa gerakan Islam trans-nasional dan liberalisme di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Mereka terus berusaha menebar pengaruh demi tujuan menggerogoti sendi-sendi kebangsaan yang telah disepakati para pendiri bangsa.
Kelompok masyarakat yang terjangkiti virus trans-nasional yang menganggap NKRI adalah “thoghut” yang harus dilawan. Sementara, kelompok masyarakat yang fanatik dengan paham liberalisme, memandang Islam Tradisional sebagai “jumud” alias ketinggalan zaman dan cenderung mencap sebagai pendukung kelompok fundamentalis. Kelompok Islam trans-nasional kian berani menebar faham “sesat” kepada masyaraat. Mereka tidak ragu memvonis seorang Muslim tidak sempurna Iman-Islamnya jika mendukung Pancasila sebagai ideologi negara.
Cita-cita mendirikan negara Islam (khilafah Islamiyyah) dari kelompok Islam trans-nasional jelas belum padam. Bahkan secara gamblang mereka berani membajak, memelintir tafsir ayat “udkhuluhu fis silmi kaffah”–masuklah ke dalam perdamaian yang sempurna. Ayat tersebut dipelesetkan menjadi “masuklah ke dalam Islam dengan menerapkan segenap totalitas ajarannya, termasuk sistem bernegara.”
Kekhawatiran ini sebenarnya sudah sejak lama dirasakan oleh para alim ulama. Terbukti, para ulama rela pasang badan sebagai garantor ke-Islaman NKRI. Termasuk memberikan status keagamaan kepada deklarator sekaligus Presiden RI ke-1, Soekarno sebagai waliyyul amri adh dhaury bis syaukah. Tentu saja komitmen para ulama tadi semestinya diapreasiasi dan dijaga, bila perlu dilegitimasi oleh negara sebagai upaya mengokohkan Negara Pancasila. Jika tidak, semakin besar potensi kelompok Islam trans-nasional membenturkan Islam dengan nasionalisme.
Semangat para ulama khususnya dari Nahdlatul Ulama (NU), sejauh ini masih berkobar. Memang di tangan para ulama NU, Islam dan nasionalisme bisa berjalan beriringan. Salah satu buktinya adalah lagu penyemangat yang sangat populer di kalangan santri NU, Hubbul Wathon Minal Iman–cinta Tanah Air itu bagian dari manifestasi iman. Keberadaan lagu tersebut menegaskan bahwa ulama NU telah menjadi garda terdepan untuk mempertahankan NKRI dan segenap keragaman sosialnya.
Hadratuss Syaikh Hasyim Asy’ary, Rais Akbar NU merupakan tokoh-pejuang yang getol mengajak warga NU mencintai tanah air, yakni dengan menerbitkan “Resolusi Jihad” untuk melawan kembalinya penjajah masuk ke Indonesia. Padahal, ketika itu negara belum memiliki kekuatan perang yang mumpuni.
Selain itu, “Resolusi Jihad” Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ary jelas untuk kepentingan bangsa. Betapa tidak, beliau sadar betul bahwa Indonesia bukan Negara Islam. Namun tekad itulah yang justru membuat kelompok-kelompok Islam di tanah air sepakat untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai “Negara Khilafah.”
Kegiatan Halaqoh Nasional Alim-Ulama di Jakarta, yang bertajuk “Memperkokoh Landasan Ke-Islaman Nasionalisme Indonesia” menurut Majelis Dzikir Hubbul Wathan menjadi forum/sarana meneguhkan komitmen Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ary.
Majelis Dzikir Hubbul Wathon sebagai fasilitator dalam menyelenggarakan forum para alim ulama, khususnya di kalangan NU dengan kalangan nasionalis, plus pejabat pemerintah, merupakan cita-cita Presidium Nasional Majelis Dzikir Hubbul Wathon.
Majelis Dzikir Hubbul Wathon juga memiliki agenda rutin, yakni menggelar halaqah, istighotsah dan kegiatan sosial ekonomi di level provinsi – region, sebagai upaya menepis anggapan bahwa Negara Pancasila tidak Islami. Majelis Dzikir Hubbul Wathon tegas bahwa: NEGARA PANCASILA ADALAH NEGARA YANG ISLAMI, SEHINGGA HARUS DIPERTAHANKAN SEBAGAI KEWAJIBAN KEAGAMAAN (FARDU AIN).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.